Jumat, 29 Mei 2009


Tak Mudah Asuh Anak di Era Digital


By admin
Monday, April 20, 2009 21:26:00
Clicks: 299


Tak Mudah Asuh Anak di Era Digital Senin, 20 April 2009 | 21:26 WIB LONDON, KOMPAS.com - Psikolog terkemuka Elly Risman Musa Psi mengatakan pola asuh anak Indonesia yang hidup di era digital di tanah air lebih sulit ketimbang mereka yang tinggal di luar negeri seperti di Inggris. Elly Risman Musa, yang juga staf ahhli Menko Kesra mengatakan hal itu dalam acara pertemuan bulanan Dharma Wanita Persatuan KBRI London, di ruang serbaguna KBRI London.


Dalam ceramah yang diikuti sekitar 30 anggota Dharma Wanita Persatuan KBRI London, Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati ini mengatakan, anak Indonesia kini hidup dalam era digital yang dengan mudahnya mengakses berbagai media elektronik yang kadang mengandung unsur pornografi. Penasihat Lembaga Pendidikan dan Pengembangan TK/TP Al Quran Jabotabek itu memberikan contoh di mana dengan mudahnya anak Indonesia bermain games, internet, telepon genggam, televisi, vcd, serta komik dan majalah.


Untuk itu ia mengharapkan para orangtua bisa mengenali lebih dekat tentang apa saja yang menjadi tontonan anak dan juga games yang mereka mainkan. Banyak permainan yang memerlukan keterampilan lebih kompleks dengan tingkat kecekatan yang tinggi, ketimbang ’games’ yang tidak jelas arahnya, ujar pendiri dan komisaris PT Surindo Utama itu. Games di abad 21 lebih menantang dan membuat anak kecanduan.


Akibatnya anak menjadi kecanduan pathologis, apalagi sekarang anak dapat bermain games dan memilih karakter yang diinginkan, yang tidak ada di dunia nyata. Padahal games mempunyai dampak negatif tidak saja bagi otak juga fisik yang membuat anak menderita RSI (repetitive strain injury), yakni berupa radang jari tangan/sindrom vibrasi lengan serta nyeri tulang belakang. Hal ini akan berkembang menjadi kecacatan, ujarnya. Dampak lainnya berupa sinar biru yang dipantulkan layar monitor akan mengikir lutein pada retina mata yang akan berakibat degenerasi makula, ujar jebolan (S1) Fakultas Psikologi UI 1978 itu.


Ny Elly yang menjadi Special Student Departemen of Education, Florida State University, Tallahassee, USA, 1995 -1997 menyebutkan, yang lebih parah lagi dapat timbul penyakit Nitendo Epilepsi atau epilepsi forosensitif. Nitendo Epilepsi yaitu serangan mendadak yang ditimbulkan oleh kilatan cahaya dengan pola tertentu. Sinar merah yang kuat akan membuat sinyal abnormal yang dikirim ke otak melalui retina membuat anak menjadi kejang. Mengutip Profesor Graham Harding, ada empat permainan yang memicu epilepsi pada anak yaitu games mega manX, Super Mario Sunshine, Metroid Prime dan Mario Kart:Double Dash.


Sebelumnya, Penasihat DWP KBRI London Ny Risandrani Thamrin dalam sambutan tertulisnya mengharapkan anggota Dharma Wanita dapat berperan aktif terhadap aktivitas anak di rumah, termasuk dalam mengawasi mereka dalam mengakses internet. Diakuinya, kemudahan anak mengakses internet memang tidak saja berdampak negatif, tatapi ada positifnya. Namun sebagai orangtua, seharusnya juga mengikuti perkembangan dan pergaulan anak, di antaranya dalam bentuk mengetahui teknologi yang mereka gunakan. Kehadiran Ny Elly Rusman di Kerajaan Inggris adalah dalam rangka mengisi acara pada pertemuan keluarga Besar Islam Indonesia Britania Raya (Kibar Gathering) yang diadakan selama dua hari, 18-19 April di London. Sehari sebelumnya, pengasuh kolom konsultasi keluarga dan seksualitas anak & remaja Harian Umum Republika itu, mengelar workshop mengenai parenting di Mushola Al Ikhlas, daerah Wimbledon yang bertema Yang Penting Diketahui Orang Tua Seputar Pengasuhan Anak Workshop yang digelar Kibar, bekerja sama dengan pengajian Al Ikhlas London dan Jejak Daffodil Muslimah diikuti 25 orang, juga masyarakat Indonesia yang berada di kerajan Inggris melalui jaringan online. ABD Sumber: Kompas.Com http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/04/20/ 21265981/Tak.Mudah.Asuh.Anak.di.Era.Digital.

More Berita E-Government Berita
. Pelajar Kayuagung Kecanduan Game Online. 2009, Semua Kecamatan di Bekasi Online . Pengadaan Jasa Jabar Dilakukan Secara Elektronik. Facebook Sebabkan Mahasiswa Malas dan Bodoh. Lawan Korupsi dengan Pojok Antikorupsi. Wuih... Indonesia Terkorup, Singapura Terbersih. Irak Pecat 62.000 Pegawai Karena Korupsi (Mengapa Kita Tidak Bisa?). RI, Negara Pelayanan Terburuk di Asia . Windows 7 Beta Dilarang di Komputer Sekolah . E-Toll Berlaku di Purbaleunyi Mulai Maret
Berburu The Master di Surabaya
Jumat, 15 Mei 2009 | 19:14 WIB | Posts by: Achmad Pramudito | Kategori: Berita Terkini, TV & Cinema |

SURYA Online - RCTI menuai sukses luar biasa dengan penyelenggaraan The Master sesi pertama maupun kedua. Terakhir, acara yang menghadirkan Dedy Corbuzier dan Romy Rafael ini menetapkan Joe Sandy sebagai jawara dengan predikat Master of Numbers.
Bertolak dari keberhasilan tersebut, RCTI bakal mengadakan The Master season 3. Berbeda dengan dua season sebelumnya yang menggunakan konsep audisi tertutup, kali ini RCTI datang ke empat kota besar Indonesia dan mengadakan audisi secara terbuka.
Surabaya kebagian jatah rangkaian audisi pertama, Sabtu (16/5). Audisi akan diselenggarakan di Resto Nine mulai pukul 09.00 WIB.


Syaratnya, menurut Indra Yudhistira, GM Produksi RCTI, berumur minimal 17 tahun. “Terbuka untuk pria dan wanita, pernah ikut kompetisi magic show, dan terbuka untuk semua aliran magic. Lebih menarik lagi kalau kontestan mempunyai ciri khas dan berkarakter,” ujarnya.


Ditambahkan, saat audisi peserta harus memainkan minimal lima permainan dan membawa sendiri semua alat penunjang permainan. “Tapi, saat menyerahkan formulir pendaftaran peserta harus menyertakan daftar permainan sebanyak 10 buah,” kata Indra sambil menambahkan, peserta hanya diperbolehkan membawa dua orang asisten masuk ke dalam ruang penjurian.
Setelah Surabaya, audisi digeber di Medan (20/5), Bandung (23/5), dan Jakarta selama dua hari berturut-turut (25-26/5). “Kami yakin masih banyak magician di luar sana yang memiliki kemampuan lebih dan kami mencoba menjemput mereka dengan melakukan audisi ini,” jelasnya. pra
PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN


PENDAHULUAN


Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik

Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.

Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.

Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.

Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.

Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.

Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.

Relevansi Pendidikan Tinggi dengan Kebutuhan Dunia Kerja Harapan dan Tantangan ...



Friday, 06 March 2009


Oleh : Ahmad Seng, Dosen Fakultas Teknik Universitas KahirunMenghadapi abad ke 21 yang ditandai oleh libelarisasi perdagangan diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar siap menghadapi persaingan global yang makin terbuka.


Masalah besar kita adalah bagaimana mahasiswa kita tidak canggung saat akan memasuki dunia kerja? Suatu hal yang harus diantisipasi sedini mungkin adalah bagaimana dunia pendidikan mampu menciptakan tenaga kerja yang profesional. Hal ini penting karena tak lama lagi di berbagai industri yang menguasai adalah tenaga kerja dari luar negeri, bahkan dari negara tetangga kita yakni Malaysia, Singapura atau Filipina.


Menghadapi tantangan seperti itu, kita tidak cukup dengan hanya berbicara, berseminar, dan berkomentar dengan berbagai kegiatan belum pasti untuk diwujudkan atau bersikap memusuhi orang asing, tetapi kita justru harus berani melakukan inovasi dan bekerja sungguh-sungguh untuk mempersiapkan sumber daya manusia masa depan yang sudah terdidik untuk bersaing dalam dunia kerja, tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai wirausahawan (entrepreneurs). Sejalan dengan kebikjaksanaan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, maka proses pendidikan di perguruan tinggi harus memperhatikan lingkungan dan kebutuhan dunia kerja khususnya dunia usaha dan dunia industri.


Dunia kerja pada masa mendatang akan menjaring secara selektif calon tenaga kerja yang benar-benar profesional pada bidangnya,.oleh karena itu salah satu tantangan utama bagi lulusan perguruan tinggi adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum memasuki dunia kerja. Upaya peningkatan SDM Khususnya dalam pendidikan tinggi adalah melalui program Co-Op (Co-Operative Education), RAPID (Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri) dan Program Riset Unggulan lainya yang merupakan sarana penting bagi pengembangan diri dan kemampuan berwirausaha serta kemandirian secara profesionalisme bagi lulusannya.


Untuk menghadapi tuntutan tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi telah menyatakan bahwa salah satu tujuan utama di bidang Pendidikan Tinggi untuk Pelita VI dan menyongsong tonggak-tonggak waktu tahun 2005 dan 2020 adalah; ”penataan sistem pendidikan tinggi agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.”


Untuk membangun kemampuan kompetitif bangsa, harus dilaksanakan secara bersama-sama, konvergen dan sinergis dalam hal pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan bangsa. Komponen pemerintah, perguruan tinggi, dan industri harus bersama-sama menyatukan potensi dalam satu jaringan kerja yang setara dan sederajat untuk melakukan penelitian dan pengembangan secara terorganisir dan sistematik. Apalagi dalam era globalisasi saat ini Indonesia seperti negara berkembang lainnya dihadapkan pada tantangan munculnya persaingan bebas dalam perdagangan antar bangsa. Adanya persaingan bebas ini akan menyebabkan Indonesia “diserbu” atau diperhadapkan dengan berbagai macam produk dan teknologi baru dari negara lain.


Dalam kerangka upaya pencapaian daya saing industri, perguruan tinggi dapat berperan lebih dari sebatas penghasil teknologi, akan tetapi Perguruan tinggi dapat mengambil peran sebagai ‘agen perubahan,’ dan menjadi bagian penting dalam pelaksanaan pembangunan dan transformasi teknologi. Untuk bisa mengemban peran demikian, suatu jejaring relasi-relasi antara perguruan tinggi (academicians) dengan penyelenggara pemerintahan (government) dan para pelaku usaha (businessmen/women) perlu dikembangkan. Tujuan adalah; pertama; mewujudkan kerjasama sinerji berkelanjutan antara perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian dan pemerintah serta dunia usaha melalui penyeimbangan kebutuhan pasar dan dorongan teknologi; kedua; mendorong berkembangnya sektor riil berbasiskan produk-produk hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri sendiri untuk menumbuhkan kemandirian perekonomian bangsa; ketiga; menumbuhkembangkan budaya penelitian yang menghasilkan temuan prospektif dipasaran dan baik dikembangkan menjadi produk industrial yang dapat di produksi dan memberikan manfaat bagi masyarakat Hal ini sangat penting kerena disadari, bahwa inovasi tidak terjadi dalam suatu area yang terisolasi dari lingkungannya, tetapi merupakan hasil dari interaksi diantara seluruh elemen-elemen dari sebuah sistem (inovasi). Sebuah sistem inovasi (baik berskala nasional maupun lokal), melampaui batas-batas dari sistem riset iptek yang formal, dan menjangkau berbagai elemen-elemen dari lingkungan usaha, sistem pendidikan dan pelatihan, sektor-sektor kebijakan publik, dan kondisi sosio-kultural. Elemen elemen kunci dalam sebuah sistem inovasi adalah institusi institusi dan proses institution building, yang mencakup; konteks regulasi, kaidah-kaidah, tradisi dan budaya, dinamika sosial, lintasan sejarah, keberagaman (diversitas) pelaku-pelaku.


Untuk ini, kapasitas absorptif (absorptive capacities), kapasitas alih pengetahuan, dan kemampuan untuk ‘to learn by interaction’ menjadi faktor -faktor krusial bagi keberhasilan inovasi dalam suatu jejaring. Pengetahuan baru dan berguna (baik secara sosial maupun komersial) merupakan hasil interaksi dan proses pembelajaran di antara berbagai aktor/elemen di dalam sistem inovasi; penghasil (producer), pengguna (user), pensuplai (supplier), otoritas publik, lembaga ilmiah, kesemuanya membangun sebuah “daya distribusi pengetahuan,” selain “daya cipta pengetahuan.”


Untuk itu, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan inti tersebut tidak bisa terlepas dari konteks kebijakan-kebijakan yang menjadi lingkungan tempat perguruan tinggi tersebut tumbuh dan berkembang. Pertanyaan sekarang adalah; apakah pemerintah dalam hal ini pemprov dan dunia usaha di Maluku Utara punya nawaitu? wallahualam bissawab. *****
KELAHIRAN PERADABAN CAHAYA :

KISAH LALU YANG MENYEJARAH



Friday, 06 March 2009


Oleh : Nofiandri,SKM (Dosen Poltekkes Ternate) Kisah ini berawal dari hegemoni orang-orang yang merasa terhormat, yang merasa tinggi derajatnya apalagi dengan status sosialnya sebagai "pemuka" kan terakreditasi apabila mereka dikaruniai anak laki-laki. Sebab itulah kejayaan. Suatu manifesto atas keberuntungan. Simbol keperkasaan, kejantanan, kebanggaan dan kekuatan. Maka anak laki-laki adalah harapan. Adalah jaminan kesejahteraan masa depan. Prestise tersendiri yang mengakar kuat, tertancap dalam pada fase kehidupan Jahili. Sedangkan anak perempuan adalah aib bagi keluarga. Kehinaan bagi sukunya. Simbolis kelemahan dan ketakberdayaan. Memiliki anak perempuan bagi orang-orang itu sama halnya menceburkan baju putih bersih ke dalam lumpur hitam yang kotor. Inilah suatu malapetaka! Maka untuk menghindari musibah ini, mereka berlomba "mentiadakan" anak perempuan ini dengan menguburnya hidup-hidup. Ini demi merapikan aib keluarga agar tidak lusuh, tidak lecek apalagi tersingkap! Lalu, deraian pilu sang ibunda di balik bilik hanyalah desauan angin belaka. Ratapan penyesalan pada nasib dan takdir. Gugatan-gugatan tak berdaya, hanya air matalah ungkapan nyatanya walau tak berupa kata. Bahwa Ia tertindas. Ia tersiksa. Ia teraniaya oleh gilasan peradaban yang tak beradab. Kemudian, apa yang dapat mereka lakukan? Tak ada apa-apa! Mereka tak berdaya, manusia yang diyakini sebagai jelmaan lain dari iblis. Manusia kotor, hina dan nista. Mereka hanya dihargai sebagai pelampiasan nafsu syahwati belaka. Maka mereka tak lebih berharga dari kuda perang dan pedang.


Maka mereka pun berada pada "second lag" pada stratafikasi keluarga, suku, bahkan pada kabilah sekalipun. Kemudian peperangan antara suku, kabilah dan golongan merupakan “trend.setter”. Khammer atau minuman keras adalah konsumsi sehari-hari. Berhura-hura, berpesta pora telah mendarah daging dalam kehidupannya. Tak ada cahaya waktu itu. Semuanya gelap gulita, kebodohan merajalela kian melaju. Kehitaman dalam kepekatannya menandai kejahiliaan waktu itu. Keburaman mendandani setiap lekuk kehidupan kala itu.


Maka, mereka terus saja berkubang nista. Mengais kefakiran terhadap ilmu dalam galian-galian kebodohan. Guratan-guratan kesakitan melebam kian menjadi. "Warisan nenek moyang" adalah tameng sakti untuk legalisasi merampok, membunuh bahkan memperkosa. Inilah suatu lukisan abad jahili itu. Arsirannya merupakan kebiadaban. Warnanya adalah kebodohan. Dan semuanya itu berjalan, menggarisi seriap tingkah polah, menandai kisah, cerita-cerita kegelapan. Saat-saat itu pun ada. Saat yang jelas pernah diramalkan para ahli Nujum, Rahib & Pendeta terkabari melalui kitab-kitab mereka. Para Paganis pun demikian. Semuanya berharap masa itu akan berakhir. Menyelamatkan mereka, membimbing keluar dari kegelapan dengan fajar-Nya. Maka bumi pun berusaha bahagia akan datangnya manusia mulia. Langit bersuka ceria karena dapat memayungi manusia suci, manusia agung, kekasih para solihin.


Sampailah masa bening dalam kejernihan hidayah. Merekah dalam penantian cahaya. Nabi Muhammad SAW. pun lahir! Muhammad dengan agama fitrahnya, agama tauhidnya datang sebagai cahaya. Pelita bagi kegelapan. Kepuasan saat dahaga menganga. Agama yang memuliakan manusia tanpa pembeda secara hakiki. Agama yang melahirkan pahlawan-pahlawan yang menyejarah sepanjang masa, menjadi pahlawan sepanjang hayat. Agama paripurna! Agama yang Rahmatan Lilalamin.


Dan perayaan atas kelahiran Beliau pun marak. Maka maraknya hanyalah sekadar eforia masa lalu, kesyukuran sementara, yang tidak dapat memberikan guratan makna mendalam, kesan nyata dalam segala aspek, dan hanya membekas saat itu lalu hilang bersama berakhirnya perayaan. Terkadang, keagungan yang menyejarah ini terlalu sering membuat kita terenggah, terlena, hanyut terbawa kisah kesuksesan masa lalu. Terlalu suka dan doyan bernostalgia tanpa refleksi! Maka kita hanya bisa meratapinya dengan membiarkannya melayang ke angkasa, terbawa angin. Ataukah memang mungkin kita belum maksimal berusaha untuk mampu menjadi bagian dari "pengulangan-pengulangan" sejarah saat ini. Maka sudah sampai dimanakah bekas-bekas perayaan itu melekat pada langkah ‘menyejarah’ kita yang membahana? Ataukah ini hanya sekadar jejak lahkah tanpa makna? Sekiranya dengan perayaan tersebut, apakah benar dapat menciptakan “pengulangan-pengulangan” kejayaan lalu yang derap langkahnya menggetarkan setiap musuh?


Sosok yang selalu kita peringati kelahirannya, adalah sosok yang menciptakan peradaban cahaya. Sosok yang memiliki misi ketauhidan. Sosok Pencinta sejati. Sosok paripurna. Maka, sekiranya sungguh sangatlah bijak meneladani sosok mulia ini, bila perayaannya tidaklah hanya sebatas perayaan belaka, pun bukan hanya sekadar prestise. Bukan pula hanya sebatas aksara tak bermakna. Apalagi hanya sebatas slogan kosong yang kering makna! Salam… Wallahu a’lam bissawab




Atasan ideal seharusnya bisa memimpin, kenyataannya, tidak semua atasan punya jiwa kepemimpinan.




Punya atasan yang bisa mengerti anak buah pastilah menyenangkan, tapi sayngnya sering kali kita dikecewakan oleh sikap atasan yang kurang tegas, biasanya hanya memberikan perintah. Dan yang lebih parahnya lagi aspirasi kita mentok tanpa tindak lanjut maupun solusi.BORN TO BE A LEADERMeskipun posisi sebagai pemimpin biasanya dibarengi berbagai fasilitas dan kemudahan, jabatan tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Tidak heran kalau mungkin atasan kita kurang punya jiwa kepemimpinan. Karena tidak semua orang dianugerahi ‘bakat’ yang satu ini. Lagipula, berbeda dengan manajemen, kepemimpinana itu merupakan sebuah proses, bukan posisi. Jadi bukan berarti seseorang yang punya jabatan tinggi dan anak buah yang banyak secara otomatis bisa memimpin, sebaliknyapun begitu. Makanya meskipun kita ‘anak bawang’ dalam sebuah tim, bukan berarti kita Cuma bisa jadi pengikut.


Sekalipun kita berbakat, sama seperti nyanyi, melukis atau menari. Memimpin bisa dipelajari. Jadi tidak perlu mengumpat kalau melihat atasan yang tidak bisa memimpin. Buktikan diri dulu kalau kita bisa memimpin. Dan bukan tidak mungkin, meskipun pengalaman bekerja kita belum terlalu banyak, kita bisa meraih promosi lebih cepat dari rekan kerja yang lain.Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kita bisa belajar untuk menjadi pemimpin. Tapi jangan terburu-buru mau mendapatkan hasil yang instant, karena untuk menjadi pemimpin yang baik butuh ilmu, waktu , pengalaman dan jam terbang.


Namun secara garis besar, pemimpin harus punya tiga kemampuan dasar yang saling berhubungan, yaitu kemampuan untuk meyakinkan orang lain, mengembangkan pengaruh, dan kemampuan membina suatu hubungan.Untuk meyakinkan orang lain, tidak Cuma perlu adanya kepercayaan antara dua belah pihak tapi kita juga harus punya strategi. Kita harus mengenal betul orang-orang yang berada dalam lingkungan kita.Dengan begitu kita bisa tahu pendekatan apa yang harus kita lakukan, sehingga saat kita ingin menyampaikan informasi, mereka dengan mudah bisa menerimanya. Memang, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Kalau ada satu-dua rekan kerja yang tidak suka, jangan diabaikan tapi beri pengertian.


SENI MEMPENGARUHI


Kalau kita sudah bisa meyakinkan rekan-rekan kerja kita. Maka dengan mudah kita ‘memepengaruhi’ mereka. Tentunya pengaruh yang baik dan disesuaikan situasi dan kondisi lingkungan kita.Jangan coba-coba, memberikan pengaruh buruk. Hal ini hanya akan membuat aib kita terbuka perlahan-lahan, terlebih lagi kita bisa merusak hubungan baik yang sudah terjalin. Kalau kondisinya sudah buruk seperti ini, akan lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Apalagi kalau atasan sampai menilai kita sebagai provokator.Namun kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi pada lingkungan akan sia-sia kalaukita tidak bisa membina hubungan tersebut baik-baik. Jangan hanya kalau ada proyek saja kita baru berteman baik. Meskipun lain divisi, kita bisa makan siang atau nonton bareng.Kemampuan interpersonal dengan atasan maupun rekan kerja tidak Cuma bisa mengakrabkan hubungan tapi mampu meningkatkan kepercayaan antara kita dan mereka.


SIKAP PEMIMPIN

Selain kemampuan dasar yang bisa dipelajari, seorang pemimpin juga diharapkan bisa bersikap seperti berikut :


PUNYA WAWASAN & KETERAMPILAN,


sangat sayang sekali kalau seandainya wawasan dan keterampilan kita terbatas. Bagaimana orang lain mau dipimpin oleh kita ? minimal kita memiliki pengetahuan luas tentang bidang pekerjaan kita, perbanyak diskusi dengan atasan dan rekan kerja. Baca buku dan simak selalu berita yang sedang berkembang. Kalau merasa keterampilan kita kurang, ajukan permohonan uantuk mendapatkan pelatihan pada atasan. Kalau pun harus mengeluarkan biaya dari kantong sendiri, pastinya anda tidak akan rugi. Dengan wawasan dan keterampilan yang kita punya, kita pasti akan lebih mudah mencari solusi saat mendapatkan masalah.




BISA MENGAMBIL KEPUTUSAN,


banyak atasan yang memiliki wewenang membuat keputusan tapi tidak mampu melakukannya. Kebanyakan , penyebabnya karena tidak berani mengambil resiko. Takut di tegur oleh atasannya lagi atau di benci anak buahnya. Padahal ketidakmamapuannya ini bisa mengurangi kepercayaan orang lain akan kompetensinya. Agar tidak salah dalam membuat keputusan , sebelumnya lakukan investigasi dan cari fakta, bisa juga dengan belajar dari pengalaman orang yang lebih senior.- PERCAYA DIRI, Tidak hanya percaya diri saat berkomunikasi dengan orang lain. Yang paling penting adalah percaya diri pada saat mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita. Dengan begitu kita akan dihargai rekan kerja dan anak buah kita. Untuk meningkatkan rasa percaya diri, kita harus tahu betul tugas tersebut. Jangan sampai salah interpretasi, lebih baikl banyak bertanya dan berdiskusi, apalagi kalau tugas pertama, pada atasan dan rekankerja, daripada sok tahu tapi akhirnya malah berantakan.

MEMEGANG JANJI,


sikap ini merupakan prinsip utama bagi seorang pemimpin. Tidak perlu merasa terbebani kepercayaan ini.cukup dengan konsisten dan bertanggung jawab penuh terhadap tindakan atau keputusan yang kita buat, itu sudah bisa jadi bukti kalau kita bisa memegang janji.




BERKEPRIBADIAN, sebagai pemimpin kita juga harus punya kepribadian kuat, tidak mudah terpengaruh orang lain, namun harus tetap fleksibel. Meskipun kita tipe orang yang lugas. Tapi kalau situasi dan kondisi tidak mendukung, kita harus bisa berkompromi.




BERBADAN SEHAT, menjadi pemimpin tidak hanya harus berotak encer tapi juga berbadan sehat. Bagaimana bisa maksimal bekerja kalau capek sedikit saja harus langsung bedrest ? memiliki tubuh sehat sangat mudah, konsumsilah makanan yang bergizi dan cukup istirahat dan rutin berolahraga.


MENGENAL PENGIKUTNamanya pemimpin tentunya harus punya pengikut. Tanpa mereka belum tentu kita bisa menyelesaikan pekerjaan secara baik. Bahkan menurut teori manajemen, pemimpin yang baik juga seorang pengikut yang baik. Biar kerja sama kita dengan para pengikut menjadi baik, kita harus tahu tipe-tipe pengikut kitaAda lima tipe pengikut antara lain :1. sebenarnya cukup mandiri tapi sayangnya sering bertindak sesuka hati. Dia tidak perduli meskipun sikapnya melenceng dari tugasnya. Tidak heran kalau dia dianggap pemberontak. Pengikut itpe ini bisa dibilang pengikut yang tidak efektif.


Kalau kita punya pengikut seperti ini, kita harus bersikap tegas namun tetap bersedia untuk berkompromi. Ajak dia bicara baik-baik dan diskusikan tugasnya serta apa yang akan dilakukannya. Mintalah dia mengerjakan tugas sesuai dengan kesepakatan. Selalu pantau pekerjaaannya dan ingatkan baik-baik kalau dia sudah mulai melenceng dari tugasnya.2. Conformist, tipe yang satu ini juga termasuk dalam kategori kurang efektif. Karena pengikut tipe ini biasanya bergantung pada orang lain dan pemikirannya kurang kritis, akhirnya dia cenderung jadi tipe “yes,sir.” Bisa jadi karena dia kurang percaya diri dengan kemampuannya. Sebaiknya kita coba memberikan dia tantangan yang ringan terlebih dahulu. Ajak dia berdiskusi, tindakan-tindakan apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Menghadapi tipe pengikut ini kita harus extra sabar. Tapi kalau dia sudah berubah, tentunya kita juga yang untung.3. Pragmatis, pengikut yang satu ini selalu cari aman. Dia hanaya akan mematuhi pimpinan yang tidak akan membawanya ke dalam masalah. Sikap ini memang bisa menguntungkannya, karena namanya akan selalu bersih. Namun sikap tersebut juga membuatnya lemah. Kalau terus dibiarkan dia tidak akan terbiasa menghadapi masalah karena selalu cariaman.


Walaupun agak sulit , tapi beri dia tanggung jawab yang cukup besar,asal dengan pengawasan yang ketat tapi jangan biarkan dia berjalan sendiri, bisa-bisa dia tidak mengerjakan tugasnya seperti yang diharapkan.4. Pasif, tipe ini sangat mudah dikenali, saat meeting, dia hampir tidak pernah bersuara dan biasanya duduk di bangku paling belakang. Jangan berharap dia akan menyampaikan ide-idenya Apalagi menunjukan diri sebagai project manager seperti sering kali kita lihat di acara the apprentice. Dia baru akan bekerja hanya kalau ada perintah. Rasa kurang percaya diri merupakan penyebab orang ini menjadi pasif. Untuk meningkatkan rasa percaya dirinya, masukan dia dalam tim yang bisa memberinya motivasi. Orang pasif seperti ini belum tentu minim ide brilian. Biasanya dia baru terbuka kalau sudah merasa nyaman dalam suatu lingkungan. Perhatikan perkembangannya kalau sudah ada kemajuan, tidak ada salhnya memberikan tantangan atau tanggung jawab yang lebih besar.5. Exemplary, inilah tipe pengikut yang ideal, bahkan bisa dibilang dialah yang sebenarnya calon pemimpin. Selain cukup berpengalaman, biasanya pengikut itpe ini terlahir dengan jiwa kepemimpinan. Meskipun baru masuk baru ke dalam suatu lingkungan, dia mudah beradaptasi dan menyukai tantangan. Kalau kita punya pengikut seperti ini, jangan ragu memberikan dia tanggung jawab besar, dia pasti tahu apa yang harus dia kerjakan.


Diposkan oleh My Blog di 23:35 0 komentar
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)





Tanggal 10 Februari yang lalu Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) mencanangkan gerakan baca koran. Seruan ini tentu memiliki korelasi yang positif dengan dunia pendidikan terutama sekolah. Bagaimana peranan guru dalam mendorong upaya gerakan tersebut di sekolah? sejauh mana pula kebiasaan para guru dalam membaca koran dan kemudian menularkannya kepada anak didik?


Setiap sekolah pasti berlangganan satu atau dua buah koran. Paling tidak koran “Pikiran Rakyat” setiap hari hadir di ruang guru atau perpustakaan sekolah di Jawa Barat. Namun, apakah dengan hadirnya media bacaan tersebut budaya membaca koran kemudian tumbuh subur di sekolah? Belum tentu. Selama pemahaman dan penilaian guru akan kebutuhan untuk membaca koran belum tepat maka budaya membaca tidak akan pernah hadir di sekolah.
Berdasarkan observasi sederhana penulis ternyata mayoritas guru lebih banyak menghabiskan waktunya, di luar jam mengajar, untuk ngobrol dan menggosip dibandingkan menambah wawasan dengan membaca koran. Mereka beranggapan bahwa berita yang disajikan koran tidak ada bedanya dengan berita yang disiarkan media televisi. Seringkali berita dari televisi lebih cepat dibandingkan koran. Tidak aneh bila kemudian di sekolah koran jarang disentuh, tergeletak begitu saja di atas meja di antara tumpukan buku.


Bahan ajar


Sejatinya koran bukan sekedar media pemberitaan. Di dalamnya juga terdapat berbagai rubrik yang berkaitan dengan dunia pendidikan yang bisa dijadikan sebagai bahan ajar tambahan selain buku daras dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Bukan hanya mata pelajaran bahasa Indonesia, koran pun bisa menjadi bahan ajar semua mata pelajaran.
Koran bisa dijadikan sebagai bahan penjelasan, keterangan tambahan maupun contoh materi pelajaran. Selain tentang ilmu-ilmu sosial koran memberikan wawasan tentang ilmu-ilmu alam. Contohnya “Pikiran Rakyat” memiliki rubrik “Cakrawala” yang membahas perkembangan sains. Bila guru membiasakan diri membaca koran wawasan mereka akan bertambah, bahan ajar pun semakin melimpah serta semakin mudah untuk disampaikan kepada siswanya di sekolah.


Menyebarkan budaya membaca


Tatkala harga buku saat ini semakin mahal, koran menjadi media bacaan alternatif yang murah meriah. Guru bisa menyebarkan budaya membaca kepada siswa dengan pemberian tugas untuk mengkliping koran tentang tema tertentu sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Dengan begitu siswa terbiasa dengan koran yang selanjutnya mereka menjadi antusias untuk terus membaca.


Namun tentu saja sekolah perlu menyediakan koran yang jumlahnya sesuai dengan rasio guru dan siswa. Tentu tidak sepadan satu koran dibaca oleh 500 orang di satu sekolah. Paling tidak setiap sekolah memiliki langganan beberapa koran nasional dan koran daerah. Dengan ketersediaan yang relatif banyak maka tidak ada alasan bagi guru dan siswa untuk tidak bisa membaca koran karena harus berebutan.


Bagi sekolah yang sudah tersambung dengan internet, budaya membaca koran bisa semakin ditingkatkan. Saat ini beberapa koran daerah maupun nasional telah menyediakan edisi online di samping edisi cetak. Misalnya “Pikiran rakyat” memiliki edisi online dengan alamat http://www.pikiran-rakyat.com/. Melalui internet, guru dan siswa bisa mengakses seluruh berita dan tulisan yang disajikan termasuk koran yang berasal dari daerah lain atau juga dari luar negeri.


Terakhir, yang paling penting dalam rangka mendorong budaya membaca koran adalah budaya menulis. Kemampuan menulis di koran tidak akan muncul tanpa diawali budaya membaca. “PR” termasuk pelopor dalam mendorong budaya ini. Lihat saja kolom “Forum Guru” yang disediakan khusus untuk tulisan para guru. Siswa SMP/SMU rubrik “belia” disediakan untuk menampung tulisan dan kreativitas mereka. Tak ketinggalan anak TK/SD memiliki “Pe Er Kecil”. Semakin sering guru dan siswa menulis di koran, maka budaya membaca koran pun akan semakin meningkat, paling tidak ingin mengetahui apakah tulisannya dimuat atau tidak.
Gerakan baca koran ini perlu terus digalakkan dengan upaya bahu membahu berbagai kalangan termasuk para guru yang bergerak di dunia pendidikan.

komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)