Jumat, 29 Mei 2009


Tak Mudah Asuh Anak di Era Digital


By admin
Monday, April 20, 2009 21:26:00
Clicks: 299


Tak Mudah Asuh Anak di Era Digital Senin, 20 April 2009 | 21:26 WIB LONDON, KOMPAS.com - Psikolog terkemuka Elly Risman Musa Psi mengatakan pola asuh anak Indonesia yang hidup di era digital di tanah air lebih sulit ketimbang mereka yang tinggal di luar negeri seperti di Inggris. Elly Risman Musa, yang juga staf ahhli Menko Kesra mengatakan hal itu dalam acara pertemuan bulanan Dharma Wanita Persatuan KBRI London, di ruang serbaguna KBRI London.


Dalam ceramah yang diikuti sekitar 30 anggota Dharma Wanita Persatuan KBRI London, Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati ini mengatakan, anak Indonesia kini hidup dalam era digital yang dengan mudahnya mengakses berbagai media elektronik yang kadang mengandung unsur pornografi. Penasihat Lembaga Pendidikan dan Pengembangan TK/TP Al Quran Jabotabek itu memberikan contoh di mana dengan mudahnya anak Indonesia bermain games, internet, telepon genggam, televisi, vcd, serta komik dan majalah.


Untuk itu ia mengharapkan para orangtua bisa mengenali lebih dekat tentang apa saja yang menjadi tontonan anak dan juga games yang mereka mainkan. Banyak permainan yang memerlukan keterampilan lebih kompleks dengan tingkat kecekatan yang tinggi, ketimbang ’games’ yang tidak jelas arahnya, ujar pendiri dan komisaris PT Surindo Utama itu. Games di abad 21 lebih menantang dan membuat anak kecanduan.


Akibatnya anak menjadi kecanduan pathologis, apalagi sekarang anak dapat bermain games dan memilih karakter yang diinginkan, yang tidak ada di dunia nyata. Padahal games mempunyai dampak negatif tidak saja bagi otak juga fisik yang membuat anak menderita RSI (repetitive strain injury), yakni berupa radang jari tangan/sindrom vibrasi lengan serta nyeri tulang belakang. Hal ini akan berkembang menjadi kecacatan, ujarnya. Dampak lainnya berupa sinar biru yang dipantulkan layar monitor akan mengikir lutein pada retina mata yang akan berakibat degenerasi makula, ujar jebolan (S1) Fakultas Psikologi UI 1978 itu.


Ny Elly yang menjadi Special Student Departemen of Education, Florida State University, Tallahassee, USA, 1995 -1997 menyebutkan, yang lebih parah lagi dapat timbul penyakit Nitendo Epilepsi atau epilepsi forosensitif. Nitendo Epilepsi yaitu serangan mendadak yang ditimbulkan oleh kilatan cahaya dengan pola tertentu. Sinar merah yang kuat akan membuat sinyal abnormal yang dikirim ke otak melalui retina membuat anak menjadi kejang. Mengutip Profesor Graham Harding, ada empat permainan yang memicu epilepsi pada anak yaitu games mega manX, Super Mario Sunshine, Metroid Prime dan Mario Kart:Double Dash.


Sebelumnya, Penasihat DWP KBRI London Ny Risandrani Thamrin dalam sambutan tertulisnya mengharapkan anggota Dharma Wanita dapat berperan aktif terhadap aktivitas anak di rumah, termasuk dalam mengawasi mereka dalam mengakses internet. Diakuinya, kemudahan anak mengakses internet memang tidak saja berdampak negatif, tatapi ada positifnya. Namun sebagai orangtua, seharusnya juga mengikuti perkembangan dan pergaulan anak, di antaranya dalam bentuk mengetahui teknologi yang mereka gunakan. Kehadiran Ny Elly Rusman di Kerajaan Inggris adalah dalam rangka mengisi acara pada pertemuan keluarga Besar Islam Indonesia Britania Raya (Kibar Gathering) yang diadakan selama dua hari, 18-19 April di London. Sehari sebelumnya, pengasuh kolom konsultasi keluarga dan seksualitas anak & remaja Harian Umum Republika itu, mengelar workshop mengenai parenting di Mushola Al Ikhlas, daerah Wimbledon yang bertema Yang Penting Diketahui Orang Tua Seputar Pengasuhan Anak Workshop yang digelar Kibar, bekerja sama dengan pengajian Al Ikhlas London dan Jejak Daffodil Muslimah diikuti 25 orang, juga masyarakat Indonesia yang berada di kerajan Inggris melalui jaringan online. ABD Sumber: Kompas.Com http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/04/20/ 21265981/Tak.Mudah.Asuh.Anak.di.Era.Digital.

More Berita E-Government Berita
. Pelajar Kayuagung Kecanduan Game Online. 2009, Semua Kecamatan di Bekasi Online . Pengadaan Jasa Jabar Dilakukan Secara Elektronik. Facebook Sebabkan Mahasiswa Malas dan Bodoh. Lawan Korupsi dengan Pojok Antikorupsi. Wuih... Indonesia Terkorup, Singapura Terbersih. Irak Pecat 62.000 Pegawai Karena Korupsi (Mengapa Kita Tidak Bisa?). RI, Negara Pelayanan Terburuk di Asia . Windows 7 Beta Dilarang di Komputer Sekolah . E-Toll Berlaku di Purbaleunyi Mulai Maret
Berburu The Master di Surabaya
Jumat, 15 Mei 2009 | 19:14 WIB | Posts by: Achmad Pramudito | Kategori: Berita Terkini, TV & Cinema |

SURYA Online - RCTI menuai sukses luar biasa dengan penyelenggaraan The Master sesi pertama maupun kedua. Terakhir, acara yang menghadirkan Dedy Corbuzier dan Romy Rafael ini menetapkan Joe Sandy sebagai jawara dengan predikat Master of Numbers.
Bertolak dari keberhasilan tersebut, RCTI bakal mengadakan The Master season 3. Berbeda dengan dua season sebelumnya yang menggunakan konsep audisi tertutup, kali ini RCTI datang ke empat kota besar Indonesia dan mengadakan audisi secara terbuka.
Surabaya kebagian jatah rangkaian audisi pertama, Sabtu (16/5). Audisi akan diselenggarakan di Resto Nine mulai pukul 09.00 WIB.


Syaratnya, menurut Indra Yudhistira, GM Produksi RCTI, berumur minimal 17 tahun. “Terbuka untuk pria dan wanita, pernah ikut kompetisi magic show, dan terbuka untuk semua aliran magic. Lebih menarik lagi kalau kontestan mempunyai ciri khas dan berkarakter,” ujarnya.


Ditambahkan, saat audisi peserta harus memainkan minimal lima permainan dan membawa sendiri semua alat penunjang permainan. “Tapi, saat menyerahkan formulir pendaftaran peserta harus menyertakan daftar permainan sebanyak 10 buah,” kata Indra sambil menambahkan, peserta hanya diperbolehkan membawa dua orang asisten masuk ke dalam ruang penjurian.
Setelah Surabaya, audisi digeber di Medan (20/5), Bandung (23/5), dan Jakarta selama dua hari berturut-turut (25-26/5). “Kami yakin masih banyak magician di luar sana yang memiliki kemampuan lebih dan kami mencoba menjemput mereka dengan melakukan audisi ini,” jelasnya. pra
PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN


PENDAHULUAN


Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik

Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.

Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.

Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.

Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.

Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.

Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.

Relevansi Pendidikan Tinggi dengan Kebutuhan Dunia Kerja Harapan dan Tantangan ...



Friday, 06 March 2009


Oleh : Ahmad Seng, Dosen Fakultas Teknik Universitas KahirunMenghadapi abad ke 21 yang ditandai oleh libelarisasi perdagangan diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar siap menghadapi persaingan global yang makin terbuka.


Masalah besar kita adalah bagaimana mahasiswa kita tidak canggung saat akan memasuki dunia kerja? Suatu hal yang harus diantisipasi sedini mungkin adalah bagaimana dunia pendidikan mampu menciptakan tenaga kerja yang profesional. Hal ini penting karena tak lama lagi di berbagai industri yang menguasai adalah tenaga kerja dari luar negeri, bahkan dari negara tetangga kita yakni Malaysia, Singapura atau Filipina.


Menghadapi tantangan seperti itu, kita tidak cukup dengan hanya berbicara, berseminar, dan berkomentar dengan berbagai kegiatan belum pasti untuk diwujudkan atau bersikap memusuhi orang asing, tetapi kita justru harus berani melakukan inovasi dan bekerja sungguh-sungguh untuk mempersiapkan sumber daya manusia masa depan yang sudah terdidik untuk bersaing dalam dunia kerja, tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai wirausahawan (entrepreneurs). Sejalan dengan kebikjaksanaan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, maka proses pendidikan di perguruan tinggi harus memperhatikan lingkungan dan kebutuhan dunia kerja khususnya dunia usaha dan dunia industri.


Dunia kerja pada masa mendatang akan menjaring secara selektif calon tenaga kerja yang benar-benar profesional pada bidangnya,.oleh karena itu salah satu tantangan utama bagi lulusan perguruan tinggi adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum memasuki dunia kerja. Upaya peningkatan SDM Khususnya dalam pendidikan tinggi adalah melalui program Co-Op (Co-Operative Education), RAPID (Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri) dan Program Riset Unggulan lainya yang merupakan sarana penting bagi pengembangan diri dan kemampuan berwirausaha serta kemandirian secara profesionalisme bagi lulusannya.


Untuk menghadapi tuntutan tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi telah menyatakan bahwa salah satu tujuan utama di bidang Pendidikan Tinggi untuk Pelita VI dan menyongsong tonggak-tonggak waktu tahun 2005 dan 2020 adalah; ”penataan sistem pendidikan tinggi agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.”


Untuk membangun kemampuan kompetitif bangsa, harus dilaksanakan secara bersama-sama, konvergen dan sinergis dalam hal pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan bangsa. Komponen pemerintah, perguruan tinggi, dan industri harus bersama-sama menyatukan potensi dalam satu jaringan kerja yang setara dan sederajat untuk melakukan penelitian dan pengembangan secara terorganisir dan sistematik. Apalagi dalam era globalisasi saat ini Indonesia seperti negara berkembang lainnya dihadapkan pada tantangan munculnya persaingan bebas dalam perdagangan antar bangsa. Adanya persaingan bebas ini akan menyebabkan Indonesia “diserbu” atau diperhadapkan dengan berbagai macam produk dan teknologi baru dari negara lain.


Dalam kerangka upaya pencapaian daya saing industri, perguruan tinggi dapat berperan lebih dari sebatas penghasil teknologi, akan tetapi Perguruan tinggi dapat mengambil peran sebagai ‘agen perubahan,’ dan menjadi bagian penting dalam pelaksanaan pembangunan dan transformasi teknologi. Untuk bisa mengemban peran demikian, suatu jejaring relasi-relasi antara perguruan tinggi (academicians) dengan penyelenggara pemerintahan (government) dan para pelaku usaha (businessmen/women) perlu dikembangkan. Tujuan adalah; pertama; mewujudkan kerjasama sinerji berkelanjutan antara perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian dan pemerintah serta dunia usaha melalui penyeimbangan kebutuhan pasar dan dorongan teknologi; kedua; mendorong berkembangnya sektor riil berbasiskan produk-produk hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri sendiri untuk menumbuhkan kemandirian perekonomian bangsa; ketiga; menumbuhkembangkan budaya penelitian yang menghasilkan temuan prospektif dipasaran dan baik dikembangkan menjadi produk industrial yang dapat di produksi dan memberikan manfaat bagi masyarakat Hal ini sangat penting kerena disadari, bahwa inovasi tidak terjadi dalam suatu area yang terisolasi dari lingkungannya, tetapi merupakan hasil dari interaksi diantara seluruh elemen-elemen dari sebuah sistem (inovasi). Sebuah sistem inovasi (baik berskala nasional maupun lokal), melampaui batas-batas dari sistem riset iptek yang formal, dan menjangkau berbagai elemen-elemen dari lingkungan usaha, sistem pendidikan dan pelatihan, sektor-sektor kebijakan publik, dan kondisi sosio-kultural. Elemen elemen kunci dalam sebuah sistem inovasi adalah institusi institusi dan proses institution building, yang mencakup; konteks regulasi, kaidah-kaidah, tradisi dan budaya, dinamika sosial, lintasan sejarah, keberagaman (diversitas) pelaku-pelaku.


Untuk ini, kapasitas absorptif (absorptive capacities), kapasitas alih pengetahuan, dan kemampuan untuk ‘to learn by interaction’ menjadi faktor -faktor krusial bagi keberhasilan inovasi dalam suatu jejaring. Pengetahuan baru dan berguna (baik secara sosial maupun komersial) merupakan hasil interaksi dan proses pembelajaran di antara berbagai aktor/elemen di dalam sistem inovasi; penghasil (producer), pengguna (user), pensuplai (supplier), otoritas publik, lembaga ilmiah, kesemuanya membangun sebuah “daya distribusi pengetahuan,” selain “daya cipta pengetahuan.”


Untuk itu, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan inti tersebut tidak bisa terlepas dari konteks kebijakan-kebijakan yang menjadi lingkungan tempat perguruan tinggi tersebut tumbuh dan berkembang. Pertanyaan sekarang adalah; apakah pemerintah dalam hal ini pemprov dan dunia usaha di Maluku Utara punya nawaitu? wallahualam bissawab. *****
KELAHIRAN PERADABAN CAHAYA :

KISAH LALU YANG MENYEJARAH



Friday, 06 March 2009


Oleh : Nofiandri,SKM (Dosen Poltekkes Ternate) Kisah ini berawal dari hegemoni orang-orang yang merasa terhormat, yang merasa tinggi derajatnya apalagi dengan status sosialnya sebagai "pemuka" kan terakreditasi apabila mereka dikaruniai anak laki-laki. Sebab itulah kejayaan. Suatu manifesto atas keberuntungan. Simbol keperkasaan, kejantanan, kebanggaan dan kekuatan. Maka anak laki-laki adalah harapan. Adalah jaminan kesejahteraan masa depan. Prestise tersendiri yang mengakar kuat, tertancap dalam pada fase kehidupan Jahili. Sedangkan anak perempuan adalah aib bagi keluarga. Kehinaan bagi sukunya. Simbolis kelemahan dan ketakberdayaan. Memiliki anak perempuan bagi orang-orang itu sama halnya menceburkan baju putih bersih ke dalam lumpur hitam yang kotor. Inilah suatu malapetaka! Maka untuk menghindari musibah ini, mereka berlomba "mentiadakan" anak perempuan ini dengan menguburnya hidup-hidup. Ini demi merapikan aib keluarga agar tidak lusuh, tidak lecek apalagi tersingkap! Lalu, deraian pilu sang ibunda di balik bilik hanyalah desauan angin belaka. Ratapan penyesalan pada nasib dan takdir. Gugatan-gugatan tak berdaya, hanya air matalah ungkapan nyatanya walau tak berupa kata. Bahwa Ia tertindas. Ia tersiksa. Ia teraniaya oleh gilasan peradaban yang tak beradab. Kemudian, apa yang dapat mereka lakukan? Tak ada apa-apa! Mereka tak berdaya, manusia yang diyakini sebagai jelmaan lain dari iblis. Manusia kotor, hina dan nista. Mereka hanya dihargai sebagai pelampiasan nafsu syahwati belaka. Maka mereka tak lebih berharga dari kuda perang dan pedang.


Maka mereka pun berada pada "second lag" pada stratafikasi keluarga, suku, bahkan pada kabilah sekalipun. Kemudian peperangan antara suku, kabilah dan golongan merupakan “trend.setter”. Khammer atau minuman keras adalah konsumsi sehari-hari. Berhura-hura, berpesta pora telah mendarah daging dalam kehidupannya. Tak ada cahaya waktu itu. Semuanya gelap gulita, kebodohan merajalela kian melaju. Kehitaman dalam kepekatannya menandai kejahiliaan waktu itu. Keburaman mendandani setiap lekuk kehidupan kala itu.


Maka, mereka terus saja berkubang nista. Mengais kefakiran terhadap ilmu dalam galian-galian kebodohan. Guratan-guratan kesakitan melebam kian menjadi. "Warisan nenek moyang" adalah tameng sakti untuk legalisasi merampok, membunuh bahkan memperkosa. Inilah suatu lukisan abad jahili itu. Arsirannya merupakan kebiadaban. Warnanya adalah kebodohan. Dan semuanya itu berjalan, menggarisi seriap tingkah polah, menandai kisah, cerita-cerita kegelapan. Saat-saat itu pun ada. Saat yang jelas pernah diramalkan para ahli Nujum, Rahib & Pendeta terkabari melalui kitab-kitab mereka. Para Paganis pun demikian. Semuanya berharap masa itu akan berakhir. Menyelamatkan mereka, membimbing keluar dari kegelapan dengan fajar-Nya. Maka bumi pun berusaha bahagia akan datangnya manusia mulia. Langit bersuka ceria karena dapat memayungi manusia suci, manusia agung, kekasih para solihin.


Sampailah masa bening dalam kejernihan hidayah. Merekah dalam penantian cahaya. Nabi Muhammad SAW. pun lahir! Muhammad dengan agama fitrahnya, agama tauhidnya datang sebagai cahaya. Pelita bagi kegelapan. Kepuasan saat dahaga menganga. Agama yang memuliakan manusia tanpa pembeda secara hakiki. Agama yang melahirkan pahlawan-pahlawan yang menyejarah sepanjang masa, menjadi pahlawan sepanjang hayat. Agama paripurna! Agama yang Rahmatan Lilalamin.


Dan perayaan atas kelahiran Beliau pun marak. Maka maraknya hanyalah sekadar eforia masa lalu, kesyukuran sementara, yang tidak dapat memberikan guratan makna mendalam, kesan nyata dalam segala aspek, dan hanya membekas saat itu lalu hilang bersama berakhirnya perayaan. Terkadang, keagungan yang menyejarah ini terlalu sering membuat kita terenggah, terlena, hanyut terbawa kisah kesuksesan masa lalu. Terlalu suka dan doyan bernostalgia tanpa refleksi! Maka kita hanya bisa meratapinya dengan membiarkannya melayang ke angkasa, terbawa angin. Ataukah memang mungkin kita belum maksimal berusaha untuk mampu menjadi bagian dari "pengulangan-pengulangan" sejarah saat ini. Maka sudah sampai dimanakah bekas-bekas perayaan itu melekat pada langkah ‘menyejarah’ kita yang membahana? Ataukah ini hanya sekadar jejak lahkah tanpa makna? Sekiranya dengan perayaan tersebut, apakah benar dapat menciptakan “pengulangan-pengulangan” kejayaan lalu yang derap langkahnya menggetarkan setiap musuh?


Sosok yang selalu kita peringati kelahirannya, adalah sosok yang menciptakan peradaban cahaya. Sosok yang memiliki misi ketauhidan. Sosok Pencinta sejati. Sosok paripurna. Maka, sekiranya sungguh sangatlah bijak meneladani sosok mulia ini, bila perayaannya tidaklah hanya sebatas perayaan belaka, pun bukan hanya sekadar prestise. Bukan pula hanya sebatas aksara tak bermakna. Apalagi hanya sebatas slogan kosong yang kering makna! Salam… Wallahu a’lam bissawab




Atasan ideal seharusnya bisa memimpin, kenyataannya, tidak semua atasan punya jiwa kepemimpinan.




Punya atasan yang bisa mengerti anak buah pastilah menyenangkan, tapi sayngnya sering kali kita dikecewakan oleh sikap atasan yang kurang tegas, biasanya hanya memberikan perintah. Dan yang lebih parahnya lagi aspirasi kita mentok tanpa tindak lanjut maupun solusi.BORN TO BE A LEADERMeskipun posisi sebagai pemimpin biasanya dibarengi berbagai fasilitas dan kemudahan, jabatan tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Tidak heran kalau mungkin atasan kita kurang punya jiwa kepemimpinan. Karena tidak semua orang dianugerahi ‘bakat’ yang satu ini. Lagipula, berbeda dengan manajemen, kepemimpinana itu merupakan sebuah proses, bukan posisi. Jadi bukan berarti seseorang yang punya jabatan tinggi dan anak buah yang banyak secara otomatis bisa memimpin, sebaliknyapun begitu. Makanya meskipun kita ‘anak bawang’ dalam sebuah tim, bukan berarti kita Cuma bisa jadi pengikut.


Sekalipun kita berbakat, sama seperti nyanyi, melukis atau menari. Memimpin bisa dipelajari. Jadi tidak perlu mengumpat kalau melihat atasan yang tidak bisa memimpin. Buktikan diri dulu kalau kita bisa memimpin. Dan bukan tidak mungkin, meskipun pengalaman bekerja kita belum terlalu banyak, kita bisa meraih promosi lebih cepat dari rekan kerja yang lain.Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kita bisa belajar untuk menjadi pemimpin. Tapi jangan terburu-buru mau mendapatkan hasil yang instant, karena untuk menjadi pemimpin yang baik butuh ilmu, waktu , pengalaman dan jam terbang.


Namun secara garis besar, pemimpin harus punya tiga kemampuan dasar yang saling berhubungan, yaitu kemampuan untuk meyakinkan orang lain, mengembangkan pengaruh, dan kemampuan membina suatu hubungan.Untuk meyakinkan orang lain, tidak Cuma perlu adanya kepercayaan antara dua belah pihak tapi kita juga harus punya strategi. Kita harus mengenal betul orang-orang yang berada dalam lingkungan kita.Dengan begitu kita bisa tahu pendekatan apa yang harus kita lakukan, sehingga saat kita ingin menyampaikan informasi, mereka dengan mudah bisa menerimanya. Memang, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Kalau ada satu-dua rekan kerja yang tidak suka, jangan diabaikan tapi beri pengertian.


SENI MEMPENGARUHI


Kalau kita sudah bisa meyakinkan rekan-rekan kerja kita. Maka dengan mudah kita ‘memepengaruhi’ mereka. Tentunya pengaruh yang baik dan disesuaikan situasi dan kondisi lingkungan kita.Jangan coba-coba, memberikan pengaruh buruk. Hal ini hanya akan membuat aib kita terbuka perlahan-lahan, terlebih lagi kita bisa merusak hubungan baik yang sudah terjalin. Kalau kondisinya sudah buruk seperti ini, akan lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Apalagi kalau atasan sampai menilai kita sebagai provokator.Namun kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi pada lingkungan akan sia-sia kalaukita tidak bisa membina hubungan tersebut baik-baik. Jangan hanya kalau ada proyek saja kita baru berteman baik. Meskipun lain divisi, kita bisa makan siang atau nonton bareng.Kemampuan interpersonal dengan atasan maupun rekan kerja tidak Cuma bisa mengakrabkan hubungan tapi mampu meningkatkan kepercayaan antara kita dan mereka.


SIKAP PEMIMPIN

Selain kemampuan dasar yang bisa dipelajari, seorang pemimpin juga diharapkan bisa bersikap seperti berikut :


PUNYA WAWASAN & KETERAMPILAN,


sangat sayang sekali kalau seandainya wawasan dan keterampilan kita terbatas. Bagaimana orang lain mau dipimpin oleh kita ? minimal kita memiliki pengetahuan luas tentang bidang pekerjaan kita, perbanyak diskusi dengan atasan dan rekan kerja. Baca buku dan simak selalu berita yang sedang berkembang. Kalau merasa keterampilan kita kurang, ajukan permohonan uantuk mendapatkan pelatihan pada atasan. Kalau pun harus mengeluarkan biaya dari kantong sendiri, pastinya anda tidak akan rugi. Dengan wawasan dan keterampilan yang kita punya, kita pasti akan lebih mudah mencari solusi saat mendapatkan masalah.




BISA MENGAMBIL KEPUTUSAN,


banyak atasan yang memiliki wewenang membuat keputusan tapi tidak mampu melakukannya. Kebanyakan , penyebabnya karena tidak berani mengambil resiko. Takut di tegur oleh atasannya lagi atau di benci anak buahnya. Padahal ketidakmamapuannya ini bisa mengurangi kepercayaan orang lain akan kompetensinya. Agar tidak salah dalam membuat keputusan , sebelumnya lakukan investigasi dan cari fakta, bisa juga dengan belajar dari pengalaman orang yang lebih senior.- PERCAYA DIRI, Tidak hanya percaya diri saat berkomunikasi dengan orang lain. Yang paling penting adalah percaya diri pada saat mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita. Dengan begitu kita akan dihargai rekan kerja dan anak buah kita. Untuk meningkatkan rasa percaya diri, kita harus tahu betul tugas tersebut. Jangan sampai salah interpretasi, lebih baikl banyak bertanya dan berdiskusi, apalagi kalau tugas pertama, pada atasan dan rekankerja, daripada sok tahu tapi akhirnya malah berantakan.

MEMEGANG JANJI,


sikap ini merupakan prinsip utama bagi seorang pemimpin. Tidak perlu merasa terbebani kepercayaan ini.cukup dengan konsisten dan bertanggung jawab penuh terhadap tindakan atau keputusan yang kita buat, itu sudah bisa jadi bukti kalau kita bisa memegang janji.




BERKEPRIBADIAN, sebagai pemimpin kita juga harus punya kepribadian kuat, tidak mudah terpengaruh orang lain, namun harus tetap fleksibel. Meskipun kita tipe orang yang lugas. Tapi kalau situasi dan kondisi tidak mendukung, kita harus bisa berkompromi.




BERBADAN SEHAT, menjadi pemimpin tidak hanya harus berotak encer tapi juga berbadan sehat. Bagaimana bisa maksimal bekerja kalau capek sedikit saja harus langsung bedrest ? memiliki tubuh sehat sangat mudah, konsumsilah makanan yang bergizi dan cukup istirahat dan rutin berolahraga.


MENGENAL PENGIKUTNamanya pemimpin tentunya harus punya pengikut. Tanpa mereka belum tentu kita bisa menyelesaikan pekerjaan secara baik. Bahkan menurut teori manajemen, pemimpin yang baik juga seorang pengikut yang baik. Biar kerja sama kita dengan para pengikut menjadi baik, kita harus tahu tipe-tipe pengikut kitaAda lima tipe pengikut antara lain :1. sebenarnya cukup mandiri tapi sayangnya sering bertindak sesuka hati. Dia tidak perduli meskipun sikapnya melenceng dari tugasnya. Tidak heran kalau dia dianggap pemberontak. Pengikut itpe ini bisa dibilang pengikut yang tidak efektif.


Kalau kita punya pengikut seperti ini, kita harus bersikap tegas namun tetap bersedia untuk berkompromi. Ajak dia bicara baik-baik dan diskusikan tugasnya serta apa yang akan dilakukannya. Mintalah dia mengerjakan tugas sesuai dengan kesepakatan. Selalu pantau pekerjaaannya dan ingatkan baik-baik kalau dia sudah mulai melenceng dari tugasnya.2. Conformist, tipe yang satu ini juga termasuk dalam kategori kurang efektif. Karena pengikut tipe ini biasanya bergantung pada orang lain dan pemikirannya kurang kritis, akhirnya dia cenderung jadi tipe “yes,sir.” Bisa jadi karena dia kurang percaya diri dengan kemampuannya. Sebaiknya kita coba memberikan dia tantangan yang ringan terlebih dahulu. Ajak dia berdiskusi, tindakan-tindakan apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Menghadapi tipe pengikut ini kita harus extra sabar. Tapi kalau dia sudah berubah, tentunya kita juga yang untung.3. Pragmatis, pengikut yang satu ini selalu cari aman. Dia hanaya akan mematuhi pimpinan yang tidak akan membawanya ke dalam masalah. Sikap ini memang bisa menguntungkannya, karena namanya akan selalu bersih. Namun sikap tersebut juga membuatnya lemah. Kalau terus dibiarkan dia tidak akan terbiasa menghadapi masalah karena selalu cariaman.


Walaupun agak sulit , tapi beri dia tanggung jawab yang cukup besar,asal dengan pengawasan yang ketat tapi jangan biarkan dia berjalan sendiri, bisa-bisa dia tidak mengerjakan tugasnya seperti yang diharapkan.4. Pasif, tipe ini sangat mudah dikenali, saat meeting, dia hampir tidak pernah bersuara dan biasanya duduk di bangku paling belakang. Jangan berharap dia akan menyampaikan ide-idenya Apalagi menunjukan diri sebagai project manager seperti sering kali kita lihat di acara the apprentice. Dia baru akan bekerja hanya kalau ada perintah. Rasa kurang percaya diri merupakan penyebab orang ini menjadi pasif. Untuk meningkatkan rasa percaya dirinya, masukan dia dalam tim yang bisa memberinya motivasi. Orang pasif seperti ini belum tentu minim ide brilian. Biasanya dia baru terbuka kalau sudah merasa nyaman dalam suatu lingkungan. Perhatikan perkembangannya kalau sudah ada kemajuan, tidak ada salhnya memberikan tantangan atau tanggung jawab yang lebih besar.5. Exemplary, inilah tipe pengikut yang ideal, bahkan bisa dibilang dialah yang sebenarnya calon pemimpin. Selain cukup berpengalaman, biasanya pengikut itpe ini terlahir dengan jiwa kepemimpinan. Meskipun baru masuk baru ke dalam suatu lingkungan, dia mudah beradaptasi dan menyukai tantangan. Kalau kita punya pengikut seperti ini, jangan ragu memberikan dia tanggung jawab besar, dia pasti tahu apa yang harus dia kerjakan.


Diposkan oleh My Blog di 23:35 0 komentar
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)





Tanggal 10 Februari yang lalu Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) mencanangkan gerakan baca koran. Seruan ini tentu memiliki korelasi yang positif dengan dunia pendidikan terutama sekolah. Bagaimana peranan guru dalam mendorong upaya gerakan tersebut di sekolah? sejauh mana pula kebiasaan para guru dalam membaca koran dan kemudian menularkannya kepada anak didik?


Setiap sekolah pasti berlangganan satu atau dua buah koran. Paling tidak koran “Pikiran Rakyat” setiap hari hadir di ruang guru atau perpustakaan sekolah di Jawa Barat. Namun, apakah dengan hadirnya media bacaan tersebut budaya membaca koran kemudian tumbuh subur di sekolah? Belum tentu. Selama pemahaman dan penilaian guru akan kebutuhan untuk membaca koran belum tepat maka budaya membaca tidak akan pernah hadir di sekolah.
Berdasarkan observasi sederhana penulis ternyata mayoritas guru lebih banyak menghabiskan waktunya, di luar jam mengajar, untuk ngobrol dan menggosip dibandingkan menambah wawasan dengan membaca koran. Mereka beranggapan bahwa berita yang disajikan koran tidak ada bedanya dengan berita yang disiarkan media televisi. Seringkali berita dari televisi lebih cepat dibandingkan koran. Tidak aneh bila kemudian di sekolah koran jarang disentuh, tergeletak begitu saja di atas meja di antara tumpukan buku.


Bahan ajar


Sejatinya koran bukan sekedar media pemberitaan. Di dalamnya juga terdapat berbagai rubrik yang berkaitan dengan dunia pendidikan yang bisa dijadikan sebagai bahan ajar tambahan selain buku daras dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Bukan hanya mata pelajaran bahasa Indonesia, koran pun bisa menjadi bahan ajar semua mata pelajaran.
Koran bisa dijadikan sebagai bahan penjelasan, keterangan tambahan maupun contoh materi pelajaran. Selain tentang ilmu-ilmu sosial koran memberikan wawasan tentang ilmu-ilmu alam. Contohnya “Pikiran Rakyat” memiliki rubrik “Cakrawala” yang membahas perkembangan sains. Bila guru membiasakan diri membaca koran wawasan mereka akan bertambah, bahan ajar pun semakin melimpah serta semakin mudah untuk disampaikan kepada siswanya di sekolah.


Menyebarkan budaya membaca


Tatkala harga buku saat ini semakin mahal, koran menjadi media bacaan alternatif yang murah meriah. Guru bisa menyebarkan budaya membaca kepada siswa dengan pemberian tugas untuk mengkliping koran tentang tema tertentu sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Dengan begitu siswa terbiasa dengan koran yang selanjutnya mereka menjadi antusias untuk terus membaca.


Namun tentu saja sekolah perlu menyediakan koran yang jumlahnya sesuai dengan rasio guru dan siswa. Tentu tidak sepadan satu koran dibaca oleh 500 orang di satu sekolah. Paling tidak setiap sekolah memiliki langganan beberapa koran nasional dan koran daerah. Dengan ketersediaan yang relatif banyak maka tidak ada alasan bagi guru dan siswa untuk tidak bisa membaca koran karena harus berebutan.


Bagi sekolah yang sudah tersambung dengan internet, budaya membaca koran bisa semakin ditingkatkan. Saat ini beberapa koran daerah maupun nasional telah menyediakan edisi online di samping edisi cetak. Misalnya “Pikiran rakyat” memiliki edisi online dengan alamat http://www.pikiran-rakyat.com/. Melalui internet, guru dan siswa bisa mengakses seluruh berita dan tulisan yang disajikan termasuk koran yang berasal dari daerah lain atau juga dari luar negeri.


Terakhir, yang paling penting dalam rangka mendorong budaya membaca koran adalah budaya menulis. Kemampuan menulis di koran tidak akan muncul tanpa diawali budaya membaca. “PR” termasuk pelopor dalam mendorong budaya ini. Lihat saja kolom “Forum Guru” yang disediakan khusus untuk tulisan para guru. Siswa SMP/SMU rubrik “belia” disediakan untuk menampung tulisan dan kreativitas mereka. Tak ketinggalan anak TK/SD memiliki “Pe Er Kecil”. Semakin sering guru dan siswa menulis di koran, maka budaya membaca koran pun akan semakin meningkat, paling tidak ingin mengetahui apakah tulisannya dimuat atau tidak.
Gerakan baca koran ini perlu terus digalakkan dengan upaya bahu membahu berbagai kalangan termasuk para guru yang bergerak di dunia pendidikan.

komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)


Senin, 2009 Mei 25

"Guru Oemar Bakri" untuk Hormati Dunia Pendidikan

KOMPAS/C WAHYU HARYO PS
Ilustrasi: seorang guru tengah menhajar.




YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Pameran seni visual bertajuk "Guru Oemar Bakrie" yang digelar di Jogja Gallery Yogyakarta ditujukan sebagai penghormatan kepada dunia pendidikan dan para pendidik, serta upaya pembacaan terhadap dunia pendidikan di
Indonesia.


"Tajuk itu diambil dari lirik lagu gubahan musisi Iwan Fals dan lirik lagu Hymne Guru, yang notabene merupakan lagu wajib nasional yang makin pupus di ingatan diharapkan dapat merangsang gagasan dan kreativitas para perupa yang diundang," kata konseptor pameran Suwarno Wisetrotomo di Yogyakarta, Rabu.


Ia mengatakan, pameran itu diharapkan dapat menjadi media untuk melihat lapis kenyataan tersebut dengan pendekatan seni, khususnya seni rupa.
Para perupa diharapkan, dengan segala kecerdasan, kenakalan, dan sensitivitasnya dapat menemukan bahasa dan bentuk yang menggugah dan memberikan pencerahan bagi banyak orang.

"Segala cara pandang atau pendekatan itu diharapkan tetap berbasis pada upaya penghormatan, cinta, dengan segenap sikap kritis. Bukankah seniman pada dasarnya adalah saksi, pencatat, dan pewarta atas segala peristiwa pada zamannya, agar masyarakat luas tercerahkan?," katanya.
Menurut dia, banyak pakar pendidikan sudah bicara dengan berbagai teori dan perspektif. Namun, yang terjadi dan tampak hingga hari ini, secara umum, adalah lapis-lapis persoalan yang sudah disebut sebelumnya.


"Oleh karena itu, lagu karya Iwan Fals berjudul Guru Oemar Bakrie terus terngiang dalam ingatan kita semua. Syair lagu itu fokusnya lebih pada nasib guru yang setia dan penuh komitmen, namun tampak ’ringsek’ di depan situasi hari ini, termasuk situasi ’kualitas siswa’ yang menyedihkan," katanya.


Tentu saja hal itu merupakan pandangan yang menggeneralisasikan kenyataan, karena fakta di lapangan menunjukkan banyak juga ditemukan situasi yang "ideal", baik yang terkait dengan guru, siswa, sekolah, fasilitas, maupun kualitas, yang menjadi keharusan.
"Artinya, jika hari ini masih terdapat banyak kenyataan yang tidak ideal, pasti ada yang salah urus, salah asuh, salah persepsi, salah ajar, dan salah kepemimpinan yang harus dikatakan dengan jujur demi masa depan yang lebih baik," katanya.
Menurut dia, pendidikan adalah investasi. Pendidikan mahal itu biasa, masuk akal, dan bisa dimengerti, tetapi persoalannya adalah bagaimana cara membayarnya, atau siapa yang sanggup membayar, atau siapa yang membiayai.


Guru harus sejahtera, fasilitas sekolah harus memadai, itu semua merupakan keniscayaan. Artinya, di samping sistem yang harus baik dan benar, terkait juga dengan persoalan kesejahteraan masyarakat.


"Dengan latar belakang semacam itu, Jogja Gallery menyelenggarakan pameran seni visual bertajuk ’Guru Oemar Bakrie’ yang berlangsung hingga 7 Juni 2009," kata dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.Sumber : Ant
Akses http://m.kompas.com di mana saja melalui ponsel, Blackberry, iPhone, atau Windows Mobile Phone Anda




PENDIDIKAN NETWORK


maju tak gentar membela yang benar






Artikel Pendidikan

Artikel:Penulisan Dan Pendiskusian Makalah Sub tema Seks Bebas Oleh Kelas 2 Angk. 2001/2002 SMU 8 Yogyakarta Sebagai Wacana Peningkatan Imtaq Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.

Nama & E-mail (Penulis): nurdin somantriSaya Guru di smu 8 YogyakartaTanggal: 26 Januari 2003Judul Artikel: Penulisan Dan Pendiskusian Makalah Sub tema Seks Bebas Oleh Kelas 2 Angk. 2001/2002 SMU 8 Yogyakarta Sebagai Wacana Peningkatan ImtaqTopik: Peningkatan Imtaq siswa


Artikel:



Ini naskah lomba Imtaq yang saya ikuti tahun 2002 lalu, meskipun belum menjadi pemenang, tetapi saya melihat urgensi permasalahannya sangat penting diketahui publik. Semoga bermanfaat.



BAB IPENDAHULUAN




1. Latar Belakang Seorang siswa bertanya kepada penulis, "Kagetkah Bapak dengan hasil penelitian yang mengatakan bahwa 97,05% mahasiswi Jogja telah kehilangan keperawanannya sewaktu belajar di Jogja?" Rupanya siswa tersebut mengikuti juga laporan Iip Wijayanto yang dimuat di berbagai media massa tanggal 1 Agustus 2002 lalu. Siswa lain, sebut saja si A yang berlatar belakang pendidikan agama yang kuat dalam keluarganya, kelas 3 SMU berciri khas agama, pernah memohon agar ia diperbolehkan sembunyi beberapa hari di rumah penulis karena pacarnya terlambat menstruasi. Saat masih mahasiswa, penulis tinggal di sebuah kampung di dekat pabrik gula di Yogyakarta bagian selatan. Kampung tersebut termasuk daerah transisi, perbatasan antara kota dan desa. Di situ ada organisasi persatuan remaja Islam. Selama saya di situ ada beberapa kali pernikahan karena 'kecelakaan', tiga kali diantaranya adalah pernikahan antara mantan-mantan ketua dan pengurus organisasi tersebut.
Pengalaman-pengalaman yang penulis dapatkan tersebut di atas, baik sebelum maupun setelah menjadi guru, telah membawa ke suatu keyakinan bahwa seks bebas sangat mungkin terjadi. Penulis tidak merasa kaget. Begitu pula ketika penulis membaca bahwa penderita AIDS usia muda cenderung meningkat (KOMPAS, 2 Agustus 2002) dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi mengatakan bahwa 60% pengguna internet di Indonesia membuka situs porno (dikatakannya ketika meluncurkan situs WWW.Krapyak.org), penulis tidak kaget.



Apa yang ditemukan Magnis-Suseno tentang etika seksual Jawa nampaknya sangat berkorelasi. Dia mengatakan bahwa seorang gadis Jawa takut berhubungan seks dengan seseorang di luar nikah, bukan karena dia sangat teguh memegang aturan moral, melainkan dia takut hamil; atau dia merasa sulit kalau dalam perkawinannya nanti ternyata dia sudah tidak perawan lagi. Seorang pemuda Jawa tidak melakukan zina bukan karena zina itu dalam pandangannya tidak baik tetapi lebih karena ketakutan bahwa ia kepergok orang kampung (dalam bahasa keseharian masyarakat: digrebeg) (Magnis-Suseno, 1984). Dari situ Suseno mengatakan bahwa etika Jawa secara teoritis adalah etika heteronom, etika yang dipengaruhi oleh unsur-unsur di luar diri seseorang yang dominan, bukan etika otonom yang mendasarkan pada kehendak dan pandangan pribadi diri seseorang terhadap sesuatu (Magnis-Suseno, 1989:44-46).



Beberapa tahun lalu penulis mengikuti penataran IMTAQ bagi guru selama 4 hari. Salah seorang instruktur mengatakan bahwa salah satu ciri keberhasilan imtaq di sekolah adalah jika kehamilan di luar nikah pada siswa tidak terjadi atau berkurang, pergaulan bebas antar siswa lain jenis tidak terjadi. Pada akhir penataran semua peserta menandatangani surat perjanjian untuk mengamalkan hasil-hasil penataran imtaq tersebut di sekolah masing-masing.
Proses pembelajaran Bahasa Inggris di SMU berdasarkan kurikulum tahun 1994, suplemen tahun 1999, bertujuan untuk menghubungkan siswa dengan kehidupan nyata dengan melalui proses pengembangan 4 keahlian yakni kemampuan berbicara, membaca, menulis dan mendengar, melalui tema yang dipilih berdasarkan minat, penguasaan kosa kata dan tata bahasa. Keempat keahlian itu diintegrasikan dalam setiap tatap muka dengan membahas tema-tema tertentu (Depdikbud, 1995:3)



Banyak sekali tema yang membahas kehidupan sosial manusia diantaranya tentang pendidikan, ekonomi, politik dan budaya. Setiap jenjang bervariasi. Kurikulum memberikan acuan (guideline) yang hendaknya diaplikasikan oleh guru di kelas, tetapi tidak mengikat harus sama persis seperti tertulis di kurikulum. Guru memiliki peluang untuk berkreasi sepanjang masih dalam koridor tema yang dibawakan dan mengembangkan keempat kemampuan tadi secara integral (Ibid., 5).



Kebetulan sekali tahun lalu penulis mengampu mata pelajaran bahasa Inggris kelas dua di SMUN 8 Yogyakarta bersama seorang teman secara per tema. Salah satu tema yang penulis bawakan adalah Culture and Art (Budaya dan Seni).
Penulis mencoba mengembangkan kemampuan menulis dan berbicara para siswa dalam kaitannya dengan tema Budaya dan Seni dengan mengangkat isu-isu sosial yang hangat dibicarakan dan dekat dengan dunia siswa yang penulis bimbing yaitu dunia remaja. Mereka dalam kondisi memiliki puncak hormon yang tinggi yaitu berusia antara 16 - 17 tahun. Cara bergaulnya sepanjang pengamatan penulis lebih bebas, ceria dan cenderung ceroboh (Daradjat, 1970:68-72).



Kondisi psikologis siswa dalam usia belasan tersebut cenderung masih labil dan membutuhkan semacam penyadaran, khususnya penyadaran moral. Disamping itu mereka membutuhkan ruang untuk mengemukakan pendapatnya tentang dunia sekitar dirinya, dunia remaja. Kebutuhan tersebut seharusnya dapat dipenuhi oleh para guru di sekolah karena sebagian waktu mereka ada di sekolah dengan memadukannya dengan proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas. Mereka membutuhkan pendidikan seks yang benar.
2. PermasalahanAda beberapa hal yang menjadi permasalahan mengapa tema seperti tertulis pada judul makalah ini penting untuk dibahas. Diantaranya adalah apa yang pernah penulis temukan selama ini berkaitan dengan seksualitas remaja.



1. Anak-anak SLTP, khususnya putra, cenderung sudah menonton VCD porno (mereka menyebutnya sepep) paling lambat kelas 3 setelah ujian akhir selesai yang pada saat itu umumnya mereka memiliki waktu luang sebelum masuk SMU dan secara psikologis lelah selama sekian bulan didril soal-soal ujian dan mengikuti ujian itu sendiri.2. Anak-anak remaja sekarang cenderung sudah mengenal internet, yang bisa dikatakan bahwa batas antara surga dan neraka di internet begitu tipisnya. Banyak sekali situs-situs positif yang bisa mencerdaskan dan mencerahkan jiwa, tetapi banyak pula yang berkaitan dengan seks. Data terakhir yang penulis peroleh melalui fasilitas search di WWW.Yahoo.com, situs tentang seks ada 5.213 situs, tentang gay 4.515 situs, homosex ada 696 situs, lesbian 3.316 situs, porno 489 situs (dilakukan tanggal 25 Agustus 2002 pukul. 21.00). Jumlah itu lebih sedikit ketika saya menceknya pada tanggal 24 Mei 2002 pukul. 17.00). Padahal banyak pula situs yang namanya sepertinya tidak berkaitan dengan seks tetapi berisi pornografi. Apabila kita mencoba mengakses setiap situs barang 5 menit saja, akan dibutuhkan waktu lebih dari 1.100 jam yang setara dengan hampir 50 hari tanpa henti. Tetapi masalahnya internet sudah menjadi kebutuhan mereka.




Dunia tidak surut ke belakang, dan internet adalah dunian ya, lalu apa yang harus diperbuat untuk mengurangi ekses negatif dari internet tersebut?3. Berdasarkan pengamatan penulis, meski seorang anak memiliki komunikasi yang bagus dengan kedua orang tuanya tetapi apabila menyangkut tentang seks komunikasi mereka cenderung tertutup. Hal ini penulis peroleh melalui pengamatan terhadap ratusan siswa privat yang pernah penulis bimbing.4. Hal yang menyangkut seks juga bisa kita temukan melalui short message system (SMS) di handphone. Paling tidak penulis menyimpan 5 SMS sejenis itu. Misalnya saja: Joni lagi bugil, Umi tanya, "Jon, itu apa?" Joni: "BUNGA. Coba pegang. Tuh kan MEKAR!" Umi cerita pada Ani. Ani marah, "Sialan, kmrn dia blg ROKOK jd aku ISEP!" Mengingat banyak siswa sekarang memiliki dan membawa telpon genggam dan pengiriman SMS itu terhitung sangat murah maka peredarannya sangat cepat di kalangan siswa. Mengenai kecepatan peredarannya saya berasumsi jangankan SMS, VCD Bandung Lautan Asmara yang relatif mahal saja sangat cepat peredarannya di kalangan siswa.5. Di kalangan siswa sendiri berkembang idiom-idiom yang berhubungan dengan seks yang merupakan plesetan atau kepanjangan dari merek rokok. Misalnya merk rokok ARDATH mereka artikan Aku Rela Diperkosa Asal Tidak Hamil, atau Djisamsu yang mereka artikan Djion sampai subuh.6. Apabila kita melihat perkembangan di dunia internasional tentang seksualitas remaja tersebut misalnya di Inggris, majalah Kawanku menyebutkan bahwa Inggris menduduki peringkat pertama di Eropa Barat dalam hal tingginya angka remaja putri yang hamil pada usia sekolah. Setiap tahun sekitar 90.000 remaja putri hamil di luar nikah. Dari jumlah tersebut 7.700 umurnya di bawah 16 tahun, 2.200 lagi umurnya belum 14 tahun. Oleh karena itu para siswa Inggris tersebut meminta adanya pelajaran pendidikan seks guna mengurangi angka kehamilan pada usia remaja tersebut (KAWANKU, No. 46/XXXI, Mei 2002, hal. 59).



3. TujuanBertitik tolak dari permasalahan tadi,




maka sudah suatu keharusan bagi para guru untuk mengambil tindakan nyata. Sekolah sebagai institusi pusat pengajaran dan pendidikan nilai-nilai, seharusnya segera mengambil langkah responsif untuk mengantisipasi, dan melalui pengaitan dengan imtaqlah hal tersebut bisa direalisasikan.



Melalui penulisan makalah ini penulis bertujuan untuk memaparkan hasil pembelajaran bahasa Inggris yang penulis lakukan di kelas dua angkatan 2001/2002 SMUN 8 Yogyakarta dengan tema Culture and Art. Sub-tema seks bebas merupakan keinginan para siswa dan penulis merespon keinginan tersebut. Disamping itu penulis bertujuan untuk mengaitkan tema dalam mata pelajaran bahasa Inggris Culture and Art (Budaya dan Seni) dengan sub-tema seks bebas dengan nilai-nilai imtaq, guna memenuhi tanggung jawab sebagai seorang guru yang pernah mengikuti penataran imtaq. Ketiga, untuk memberikan semacam gambaran bagi rekan sejawat, para guru, yang mungkin belum mengaitkan mata pelajaran yang diampunya dengan nilai-nilai imtaq.



BAB IIKEGIATAN PEMBELAJARAN




1. PersiapanPertama-tama kita harus melihat GBPP,




apa tema yang akan kita bawakan di kelas. Kita menuliskannya di lembar persiapan mengajar (SP dan RP). (Untuk format yang berkaitan dengan imtaq sudah tersedia di MGMP. Untuk tema yang penulis bawakan lihat lampiran 1 dan




2). Ketika kita masuk kelas pada awal tahun pelajaran,




kita harus mengumumkan apa yang akan kita lakukan bersama mereka, apa yang mereka inginkan dari pelajaran yang kita ampu. Ini sangat penting dilakukan ditinjau dari berbagai segi. Pertama, siswa merasa mengontrol jalannya pelajaran, mereka akan mampu menjawab AMBAK (apa manfaatnya bagiku). Kedua, mereka memiliki gambaran apa yang seharusnya mereka persiapkan dan lakukan. Ketiga, mereka akan belajar memahami konsekuensi-konsekuensi apabila tidak berpartisipasi dalam rencana yang telah mereka tentukan sendiri.



Tema yang penulis bawakan justeru muncul dari keinginan siswa sendiri. Ketika mereka diajak berdiskusi tentang tema Culture and Art, topik apa yang termasuk dalam kajian itu, mereka menawarkan free sex, sex before marriage atau sex education sebagai sesuatu yang penting dibahas. Menurut pertimbangan penulis, hal tersebut merupakan suatu kemajuan dan kami sepakat untuk memasukkannya dalam proses pembelajaran.



Kami juga sepakat bahwa metode yang akan dikembangkan adalah menitikberatkan pada kemampuan berbicara (speaking), dengan pertimbangan bahwa mereka merasa lemah dalam kemampuan itu. Tetapi penyampaian tema tersebut akan sangat tak beraturan tanpa adanya acuan karena penulis berterus terang kepada mereka bahwa dalam GBPP tidak ada. Maka kami sepakat untuk pertama-tama menuliskannya dalam bentuk makalah sehingga dengan demikian mereka juga mengembangkan kemampuan menulis (writing).



Metode diskusi pada awal tahun pelajaran yang penulis terapkan di kelas tersebut sangat penting (Penulis mengacu pada buku Quantum Teaching terbitan Kaifa Bandung). Tema yang berkaitan dengan seks tersebut masing-masing kelas pemunculannya berbeda. Oleh karena itu dalam makalah ini adalah kumpulan makalah siswa yang muncul dari beberapa kelompok dari 6 kelas paralel yang penulis ampu.



Setelah kami menyepakati hal-hal tadi, kemudian dilakukan pembagian kelompok yang terdiri dari 6 - 8 siswa dan penjadualan kapan masing-masing kelompok akan maju. Ini didasarkan pada waktu dalam program catur wulan (proca), tahun lalu masih menggunakan proca, yang penulis susun ada sekitar 12 jam pelajaran, sehingga kalau ada 5 - 6 kelompok yang harus maju, maka semua topik dalam tema tersebut dapat terselesaikan semua. Berdasarkan pengalaman, penulis tidak perlu menginstruksikan persiapan apa yang mereka sebaiknya lakukan. Mereka dengan sendirinya berdiskusi kelompok di salah satu tempat anggota kelompok atau di sekolah. Lalu mereka menuliskan hasil diskusi tersebut. Penulis memberi kebebasan penuh dalam hal format penulisan. Silakan mau ditik atau ditulis tangan, yang penting pada waktu giliran presentasi tidak ada kelompok yang beralasan belum siap. Sebenarnya waktu itu ada beberapa kelompok yang meminta cara presentasinya melalui power point dengan komputer, tetapi karena tidak disetujui seluruh siswa maka penulis mengikuti kehendak mayoritas siswa.



2. PelaksanaanDiskusi kelas tersebut berlangsung pada bulan Juli - September 2001.




Pada gilirannya, setiap kelompok yang sudah terjadual maju menyajikan makalah-makalah mereka. Fungsi penulis di situ adalah sebagai moderator yang mengatur jalannya diskusi. Dalam diskusi tersebut titik berat yang diperhatikan adalah ujaran-ujaran dan ungkapan-ungkapan yang mereka praktekkan dalam rangka berbahasa Inggris yang baik dan benar. Penulis mencatat kesalahan-kesalahan pengungkapan ujaran-ujaran untuk dibahas, dan sekaligus menilai setiap aktifitas siswa. Untuk tahap pelaksanaan ini, ada hal-hal khusus yang menjadi kebiasaan penulis. Apabila kelas berisi seluruhnya muslim maka penulis akan mengawali dan mengakhiri aktifitas pembelajaran dengan berdoa dalam bahasa Inggris (lihat lampiran 4), tetapi jika ada yang bukan muslim cukup mendahului dengan membaca salam (Untuk proses ini silakan lihat lampiran 3 Teacher's Note).



Diskusi berjalan sangat memuaskan. Suasana kelas kondusif, para siswa tampak bergairah dan penuh rasa riang. Sementara kelompok yang satu menyajikan makalahnya maka siswa dari kelompok lain menyimak dan pada gilirannya secara aktif mengajukan berbagai pertanyaan, berbagi pendapat dan berkomentar terhadap tema yang kelompok penyaji bawakan. Kemudian kelompok penyaji memberi penjelasan secara merata, saling melengkapi. Setiap siswa yang bertanya atau terlibat dalam kegiatan ini penulis catat sebagai suatu penilaian proses. Dan pada akhir pembelajaran setiap siswa harus menuliskan rangkuman diskusi tersebut. Ini penting supaya suasana kelas tidak ramai tidak karuan atau para siswa ngobrol sendiri-sendiri.
BAB IIIHASIL PEMBELAJARANDari 6 kelas, 2A - 2F, ada 5 kelompok yang membahas tentang seks bebas atau berkaitan dengan seks. Satu kelompok dari kelas 2F, dan masing-masing dua kelompok dari kelas 2B dan 2D (Untuk daftar nama-nama siswanya lihat lampiran 6). Hasil diskusi mereka penulis kelompokkan sebagai berikut :



1. Dari Sudut Latar Belakang dan Cara Perolehan Ada dua kelompok yang mempresentasikan latar belakang mengapa hal-hal yang berkaitan dengan seks digemari dan cara mendapatkan material yang berkaitan dengan seks.



Kelompok pertama mengatakan bahwa membicarakan sex itu dianggap immoral, taboo dan terlarang. Di sisi lain orang tua mereka tidak memberikan pendidikan seks yang cukup. Itulah sebabnya anak-anak muda biasanya menggali sendiri. Tentang cara mereka mendapatkan material yang berkaitan dengan seks mereka mengatakan bahwa . they can find through friends, films, reading materials such as novel or even comics. Nowadays, because of high technology, we can find what we want easily through reading, pictures, vcd and internet. They try to grasp the essence of it without any guidances. That's why they are stuck in pornography than sex education. . (Mereka bisa mendapatkannya melalui teman, film-film, bahan bacaan seperti novel atau bahkan komik. Dewasa ini, disebabkan teknologi tinggi, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan dengan mudah melalui bacaan, gambar-gambar, vcd dan internet. Mereka mencoba untuk mengenal/memahami intinya tanpa bimbingan. Itulah mengapa mer eka terjebak dalam pornografi daripada pendidikan seks).



Mereka memberi solusi bahwa sebaiknya yang berkewajiban yakni orang tua dan guru harus memberikan pendidikan seks yang cukup. Lebih-lebih pemerintah harus menerapkan hukum yang ketat untuk menghilangkan peredaran bahan-bahan pornografi, paling tidak membatasi.
Meski begitu kelompok ini tidak yakin bahwa pornografi bisa dihilangkan dari kehidupan kita karena menurut mereka hampir sebagian besar dari kita sangat menyukainya.
Kelompok kedua menulis bahwa cara mendapatkan material yang berkaitan dengan seks bisa didapat melalui internet. Selanjutnya mereka menulis, . Beside that, by using internet, people can search many forbiden sites, for example the sites that show many poses of naked person especially women or the sex sites. ... (Disamping itu, dengan menggunakan internet, orang dapat mencari banyak situs terlarang, seperti halnya situs yang memperlihatkan banyak pose orang telanjang khususnya wanita atau situs seks).



Kelompok ini menyadari bahwa . that sites are not useful and suitable to look at. This site can decrease the faith to God and tend to lead them to do something wrong. But many people don't know or don't think about it. They're too eager to see all that pictures. . (Situs-situs itu tidak berguna dan tidak cocok untuk dilihat. Situs itu akan mengurangi keimanan kepada Tuhan dan cenderung membawa mereka untuk melakukan sesuatu yang salah. Tetapi banyak orang tidak tahu atau tidak memikirkan tentang itu. Mereka terlalu bernafsu untuk melihat gambar-gambar itu semua).



Dan akhirnya kelompok ini memberi saran dengan tegas : These sites must be avoided and must be lost. (Situs-situs itu harus dihindari dan dihilangkan).



2. Dari Sudut KesehatanDari sudut pandang kesehatan, kelompok ketiga melihat bahwa. free sex activity may be a usual thing in other country especially in western life, but not in our country Indonesia. It's a forbidden thing in our society. Free sex may be makes everybody happy to do. But if we see from medical side, it can disturb our health because it may cause AIDS. AIDS can make our life useless, and destroy our life although we avoid it with condoms when we have intercourse, it still can't be avoided. Everyone can get it if we don't try to avoid it. (Aktifitas seks bebas mungkin sesuatu yang biasa di negara lain khususnya dalam kehidupan barat, tetapi tidak di negara kita Indonesia. Itu sesuatu yang dilarang dalam masyarakat kita. Seks bebas mungkin membuat setiap orang senang untuk melakukannya. Tetapi jika kita melihat dari sisi medis, itu bisa merusak kesehatan karena bisa menyebabkan AIDS. AIDS bisa membuat kehidupan kita tak berguna, dan merusak hidup kita meskipun kita menghindarinya dengan kondom ketika kita berhubungan seks, ia masih tidak bisa dihindari. Setiap orang bisa terkena jika kita tidak mencoba menghindarinya).



Kelompok ini juga tidak mengingkari adanya seks bebas di tengah-tengah mereka. Mereka memberikan bukti yaitu dengan adanya pernikahan dini akibat 'kecelakaan' atau hamil sebelum menikah. Padahal, menurut mereka, pernikahan dini cenderung mengakibatkan bayi yang terlahir berIQ rendah atau tumbuh secara tidak normal/lambat. Si ibu sendiri akan merasa malu.



Oleh karena itu kelompok ini menyarankan bahwa para remaja harus menjaga hubungan dengan lawan jenis, hindari kehamilan sebelum menikah. Mereka percaya bahwa pernikahan dini akan membuat masa depan mereka hancur.



3. Dari Sudut Peran EksternalKesadaran akan pentingnya bimbingan dari luar diri mereka misalnya orang tua dikemukakan oleh kelompok empat, yaitu pada masa-masa mereka pacaran. Dalam masa ini mereka memberikan langkah-langkah yang perlu mereka lakukan yaitu . we must tell our parents about our relationship, because we need a guide from elderly persons and also to protect us from doing bad things such as sex before marriage. . (Kita harus mengatakan kepada orang tua kita tentang hubugan kita, karena kita butuh bimbingan dari orang yang lebih tua dan juga untuk melindungi kita dari melakukan hal-hal yang buruk seperti seks sebelum menikah).Langkah kedua, menurut mereka, yaitu setelah mereka bekerja barulah mengajak untuk hidup berumah tangga.



Ada beberapa saran yang mereka ajukan:1. Bagi putri, . one thing you should know, don't be fooled by a boy. Think before you make a decision. And take care of you in that period. You must think first before doing something with your boyfriend. Keep your virginity until your wedding day. Don't be easy in kissing the boys. Keep your virginity and your first kiss only for your husband. Choose the best boy to be your husband, your eternal partner. Don't look at their face or physical things, look at their personality. And you'll find the best one. . (Satu hal yang harus kamu ketahui, jangan diperbodoh oleh lelaki. Pikirkan sebelum kamu buat keputusan. Dan pedulilah pada diri sendiri pada masa ini. Kamu harus berfikir sebelum melakukan sesuatu dengan pacarmu. Jagalah keperawananmu sampai hari pernikahanmu. Jangan mudah mencium laki-laki. Jaga keparawanan dan ciuman pertamamu hanya untuk suamimu. Pilihlah laki-laki yang terbaik untuk menjadi suamimu, partner abadimu. Jangan lihat pada muka atau hal-hal fisik, lihatlah kepribadian mereka. Dan kau akan temukan yang terbaik).



Bagi putra, . you must respect the girls. Don't play with their heart. They're not your dolls. Prepared before you go further in a relationship. Be a responsible guy, and you can build your relationship after you have responsibility. Respect the girls because they are worthy things in this world. Try to understand girl's feeling. And you can work out your relationship in a long time. . (Kamu harus menghormati wanita. Jangan mempermainkan hati mereka. Mereka bukanlah boneka. Persiapkan sebelum kamu melangkah jauh dalam suatu hubungan. Jadilah pria yang bertanggung jawab, dan kau dapat membangun suatu hubungan setelah kamu memiliki tanggungjawab. Hormati wanita karena mereka adalah sesuatu yang berharga di dunia ini. Cobalah memahami perasaan wanita. Dan kau akan menjalani hubunganmu untuk waktu yang lama).



2. Ingatlah Tuhan, aturan-aturan-Nya bagi hidupmu.




Dan lihatlah perilakumu apakah cocok atau tidak dengan budayamu.Kelompok kelima, setelah menjelaskan perihal seks bebas, mereka sampai pada kesimpulan bahwa. sex education is important for us. But, some parents still think that if children learn about sex, there's a will in their mind to do it. It's not always like that! Really! We can learn about our genital function maybe what is penis for? How can the boys clean it? And for women: ovarium, uterus, vagina, etc. And we can also learn about contraceptions. (Pendidikan seks itu penting untuk kita. Tetapi, sebagian orang tua masih berpikir bahwa jika anak-anak belajar tentang seks, ada keinginan dalam pikiran mereka untuk melakukannya. Tidak selalu seperti iu! Sungguh! Kita bisa belajar tentang fungsi alat-alat genital kita seperti untuk apa penis itu? Bagaimana anak laki-laki membersihkannya? Dan untuk wanita: sel telur, uterus, vagina dll. Dan kita juga bisa belajar tentang alat kontrasepsi).



Akhirnya mereka mengharap bahwa pendidikan seks juga akan diberikan di sekolah-sekolah di Indonesia untuk menghindari kasus 'seks sebelum menikah'.



BAB IVANALISIS HASIL PEMBELAJARAN




Seks bebas dalam pengertian agama Islam adalah Zina. Meskipun para siswa tidak memberi definisi atau pembatasan atas istilah seks bebas tersebut tetapi dalam proses diskusi apa yang diungkapkan dan dimaksudkan mereka tentang seks bebas tersebut merujuk ke istilah zina. Zina adalah nama bagi hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah atau bukan karena pernikahan yang subhat, atau nama bagi perbuatan seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan, yang menurut naluri manusia wajar tetapi dilarang oleh syara' karena diluar nikah (Nasikun, 1984:43-44).
Dewasa ini kita melihat ada kecenderungan perubahan pandangan masyarakat atas pernikahan. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai institusi yang sakral atau sebagai fungsi prokreasi tetapi mulai mengarah ke fungsi rekreasi belaka. Keadaan ini juga dilihat oleh para siswa khususnya kehidupan masyarakat barat melalui film-film barat. Jika pernikahan dianggap hanya berfungsi rekreasi belaka, maka untuk apa menikah apabila tujuan rekreasi itu sudah bisa tercapai tanpa menikah? Dari cara pandang tersebut sangat mungkin memunculkan adanya seks bebas.



Permasalahan yang penulis sebutkan di muka hanya untuk menguatkan bahwa betapa pentingnya penyadaran bahaya seks bebas untuk siswa SMU. Jika proses penyadaran tersebut tidak kita lakukan, maka akan ada konflik moral yaitu konflik antara beberapa kecenderungan prilaku manusia dan sistem tatanan yang otoritasnya dikenali betul (Thouless, 1992:71). Ada hukum moral yang mereka anggap baik, tetapi di sisi lain mereka sadar bahwa mereka tidak bisa lepas dari hal itu. Inilah yang menyebabkan konflik moral. Memang konflik yang umum terjadi di kalangan remaja adalah konflik seks. Mereka ingin bergaul erat dengan lawan jenis, berbuat sesuai dengan dorongan yang timbul dari dalam dirinya, akan tetapi hal itu bertentangan dengan larangan-larangan atau pantangan-pantangan agama dan nilai-nilai sosial (Daradjat, 1970:79-80).



Apabila seorang siswa nampak menjadi pemalas, tak acuh, sakit-sakitan, prestasi menurun, nakal dan sebagainya bisa jadi itu adalah tampakan luar dari konflik moral yang dihadapi. Dalam bukunya yang lain, kondisi demikian oleh Daradjat disebutnya sebagai kondisi stress, dan stress ini adalah sumber ketidakbahagiaan. Untuk menghindarinya diperlukan media untuk menumpahkan ganjalan-ganjalan hati yang mereka punyai, mungkin psikolog, atau guru tertentu jika di sekolah (Daradjat, 1990:30-31). Konflik moral tersebut memang bisa pula terjadi akibat proses pendidikan yang memberikan penekanan berlebihan pada dimensi kognitif dan mengabaikan dimensi-dimensi lain. Hal tersebut menurut A. Malik Fajar ternyata telah melahirkan manusia Indonesia dengan kepribadian pecah (split personality).




Hal itu bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang di satu sisi betapa kehidupan beragama secara fisik berkembang pesat namun di lain sisi betapa banyaknya perilaku masyarakat itu sendiri yang bertentangan dengan ajaran agama yang dipeluknya (Fajar, Pendidikan Sebagai Praksis Humanisasi, Majalah GERBANG, Edisi 2 TH. II, Agustus 2002, hal. 45). Berdasarkan kerangka berpikir demikian, apa yang penulis lakukan adalah dalam rangka memberi ruang siswa untuk mengungkapkan apa sebenarnya pandangan mereka tentang seks bebas. Media ini sekaligus media pengendalian diri, berupa penyadaran diri seperti yang dianjurkan Daradjat. Tentu saja ada metode lain yang lebih personal. Daradjat mengatakan bahwa media taubat dalam Islam merupakan cara terbaik untuk mengembalikan keseimbangan jiwa mereka (Op.cit., 80).



Apabila konflik moral terus menerus terjadi diantara individu akan berlanjut menjadi konflik komunal, konflik massa, dan hal tersebut akan membuat gelisah mereka dan dampaknya adalah timbulnya kebencian pada orang di luar dirinya, entah itu orang tua, guru, pemimpin ataupun sistem. Maka patut diteliti apakah kebrutalan remaja yang mungkin mereka lakukan lewat tawuran atau konvoi atau sejenis itu lainnya adalah dampak dari konflik moral individu yang berkembang menjadi konflik moral komunal?



Dari 5 makalah yang disajikan dan didiskusikan di 3 kelas tersebut, penulis mendapatkan beberapa hal yang perlu dipaparkan di sini.



1. Adanya Peningkatan Kemampuan BerbahasaMeskipun tentu saja banyak faktor lain yang mendukung, kemampuan berbahasa (skill competence) para siswa relatif meningkat. Hal tersebut bisa dilihat dari bertambah baiknya mereka dalam menulis. Berkaitan dengan tema yang lain yakni History, penulis memberikan tugas menulis autobiography untuk liburan Ramadhan catur wulan kedua. Hampir semua siswa mampu melaksanakan tugas tersebut. Hasil pembelajarannya sudah penulis tuliskan dalam artikel berjudul "Improving Writing Skill by Using Power Point" yang sedang dalam proses publikasi di situs www.Acen.Or.Kr/Webzine/.
Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris mereka juga makin baik yang bisa penulis rasakan dari cara mereka berkomunikasi dengan penulis, guru bahasa Inggris lain, sesama siswa ataupun tamu asing. Beberapa diantara mereka bahkan diundang untuk diwawancarai dalam bahasa Inggris di Produa FM RRI Yogyakarta dengan tema seputar dunia remaja.



Pemahaman atas bacaan (reading comprehension) juga menunjukkan kemajuan yang positif. Hal itu dibuktikan lewat tes pendalaman materi yang salah satu teksnya penulis ambil dari makalah yang mereka tulis (Lihat lampiran 5, pada teks no. 2 soal no 6 - 10). Sebagian besar siswa mampu menjawab soal-soal tentang bacaan tersebut (Untuk pendalaman materi, penulis tidak diharuskan membuat analisis skor per soal tetapi cukup mengadakan pembahasan soal sehingga data valid tidak bisa penulis paparkan. Dalam proses pembahasan soal-soal tersebut sekilas penulis melihat adanya kepuasan yang menandakan bahwa jawaban mereka benar).



2. Adanya Penyadaran Diri dan Munculnya FilterSelain merupakan media pengekspresian para siswa, metode penulisan dan penyajian sub-tema tersebut secara tidak langsung merupakan metode pembangkitan kesadaran. Kesadaran itu ditemukan oleh para siswa sendiri lewat diskusi kelompok di tempat masing-masing, lalu berlanjut ketika proses penulisan makalah dan pencarian berbagai sumber (referensi). Pada tahap ini siswa lebih memahami apa sebenarnya seks bebas tersebut. Pada tahap penyajian di kelas kesadaran itu disebarluaskan ke seluruh kelas sehingga menjadi kesadaran komunal.



Dilihat dari urgensinya dan siapa subjek pendidikan kita, maka pengambilan tema seks bebas adalah penting jika dikaitan dengan kondisi siswa khususnya siswa SMU sekarang ini yang sudah suatu keharusan untuk mampu mengakses internet. Menurut seorang pemilik warung internet di Yogyakarta, tipikal konsumen Indonesia itu berbeda dengan konsumen barat. Seorang konsumen barat datang ke warnet cukup membuka email saja, sedangkan orang Indonesia, lebih-lebih anak muda, sering membuat komputer hang karena mereka tak hanya membuka email tetapi juga situs-situs porno secara bersamaan yang membutuhkan bandwidth yang besar. Dengan mengetahui bahwa banyak material yang berkaitan dengan seks dapat diakses melalui internet, maka siswa mendapatkan kesadaran untuk memiliki filter dan selalu waspada jika akan mengakses internet.



Sebagai pembanding memang suatu keuntungan bagi penulis karena memiliki beberapa siswa yang pernah hidup di luar negeri. Tanpa perlu diinstruksikan, para siswa sudah dengan sendirinya merujuk kepada mereka sebagai orang yang benar-benar pernah menyaksikan dunia seks bebas dalam kehidupannya. Tetapi sebenarnya tanpa harus ada pengalaman nyata pun penulis yakin para siswa pernah melihat film-film barat yang kebetulan banyak digemari remaja misalnya Dawson's Creek, atau Melrose Place di TV dan film sejenis itu lainnya. Dari gambaran film-film produksi Hollywood itu saja para siswa sudah bisa menyimpulkan bagaimana budaya barat itu sesungguhnya meski hanya direpresentasikan dalam film-film Hollywood. Dengan pendiskusian tema seks bebas mereka sudah menemukan filter sendiri berupa kehendak psikologis untuk tidak melakukan sesuatu dalam hal ini seks bebas yang berasal dari stimuli guru membawakan tema.



3. Adanya Keterkaitan dengan Nilai-Nilai ImtaqUntuk penyadaran bahaya seks bebas melalui mata pelajaran Bahasa Inggris, dalil-dalil Quran bisa sebagai penguat. Berdasarkan pengalaman, penulis tidak perlu menunjukkan secara eksplisit surat dan ayatnya. Pertama, supaya tidak terlalu nampak sebagai pelajaran agama, lebih-lebih di kelas yang terdapat siswa bukan muslim, mereka akan protes. Kedua, dengan cukup diberi acuan (guideline), mereka akan mencari sendiri dan mengembangkannya dalam diskusi yang pada akhirnya memperkuat kesadaran tadi.
Meskipun tidak secara eksplisit para siswa menuliskan surat dan ayat Qur'an dalam makalahnya, tetapi dalam proses penulisan, penyajian dan pendiskusian mereka menyarankan sikap-sikap dan tindakan-tindakan moral yang sebaiknya siswa lakukan, misalnya jangan terjebak dalam pornografi, jangan membuka situs porno bahkan situs porno menurut mereka harus dihilangkan karena dapat mengurangi tingkat keimanan kita kepada Tuhan. Mereka mengatakan bahwa memang banyak materi-materi yang berkaitan dengan seks dan mudah sekali mendapatkannya, tetapi janganlah kita masuk ke dunia itu dan terjebak di dalamnya, tetapi lebih baik mari kita adakan pendidikan seks. Penulis melihat ada semacam kesadaran transendental yang mereka peroleh.



Kesadaran psikologis dan sikap serta kehendak untuk tidak melakukan seks bebas yang para siswa dapatkan melalui proses penulisan dan pendiskusian tema seks bebas tersebut sebenarnya adalah bentuk pengamalan surat Al Israa ayat 32 yang berbunyi:



32. "Dan Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."Mereka menyadari bahwa seks bebas itu berbahaya dan menyarankan untuk selalu menjaga diri, memiliki pengendalian diri, khususnya dalam periode pacaran. Bahkan mereka mengatakan untuk putri simpanlah ciuman pertama dan keperawanan itu untuk suami mereka. Mereka memberikan saran-saran dan solusi yang perlu dininternalisasikan oleh para siswa. Proses pengendalian diri (kesadaran internal) ini juga sangat bersesuaian dengan QS. An Nuur: 30-31 yang berbunyi:30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".




31. Katakanlah kepada wanita yang beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."



BAB VPENUTUP




1. KesimpulanDari proses kegiatan belajar mengajar yang berbentuk penulisan dan pendikusian makalah, penulis menemukan adanya kesamaan persepsi pada para siswa khususnya mereka yang mengambil tema seks bebas bahwa seks bebas itu berbahaya dilihat dari sudut kesehatan ataupun budaya. Persepsi ini memunculkan adanya kesadaran akan bahaya seks bebas sekaligus kesadaran bahwa hal-hal yang menuju ke arah seks bebas berkembang di sekitarnya bahkan begitu mudahnya mereka mendapatkan materi-materi itu. Pada tataran realitas dapat dikatakan bahwa seks bebas itu ada di sekitar kita, dan kita tidak perlu menafikannya. Kondisi yang bertentangan tersebut akan menimbulkan adanya konflik moral individu. Itulah sebabnya mengapa banyak diantara mereka terjebak ke dalam pornografi. Dan konflik moral individu tersebut jika tidak ada penanganan yang tepat akan menimbulkan konflik moral massa. Salah satu bentuk penanganannya adalah memberikan ruang kepada mereka untuk mengungkapan persepsi mereka tentang seks bebas tersebut. Pengadaan kondisi seperti itu adalah bagian dari pendidikan seks yang memang mereka minta keberadaanya baik di rumah maupun di sekolah. Dengan demikian para siswa akan terarah pada suatu realitas bahwa hidup adalah pilihan, tinggal bagaimana mereka menyikapinya khususnya terhadap seks bebas, tentu dengan segala konsekuensi-konsekuensi atas pemilihan cara pandang, sikap dan tindakannya tersebut. Ada atau tidak ada keharusan mengaitkan mata pelajaran dengan imtaq, fungsi guru sehubungan dengan hal tersebut adalah memberi ruang yang sangat mungkin menimbulkan kesadaran moral bagi para siswanya guna memberikan pijakan dan arah bagi kehidupan para siswa itu sendiri sekarang dan masa depan yang dalam bahasa agama adalah li'ila-i-kalimaatillah, menegakkan hukum Tuhan di muka bumi.



Dan pada kenyataannya, dengan cara memberikan ruang yang memungkinkan para siswa mengekspresikan ide, gagasan dan pandangannya tentang seks bebas, penulis menemukan adanya kesadaran para siswa untuk tidak melakukan seks bebas. Hal tersebut merupakan indikasi peningkatan keimanan dan ketaqwaan mereka. Kesadaran yang diperolehnya sendiri, atau melalui teman sebaya, akan berdampak lebih kuat daripada diberitahu oleh orang yang lebih tua atau guru. Disamping itu mereka juga mendapatkan keuntungan lain yakni kemampuan berbahasa menulis, berbicara bahkan membaca turut berkembang positif.
Dari hasil-hasil yang diperoleh tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa proses pembelajaran dapat dikatakan berhasil.



2. Saran-saran



1. Para guru, khususnya guru SMU, perlu merespon persepsi para siswa tentang seks bebas dengan memasukkan tema seks bebas dalam proses KBM, misalnya untuk kelas 1 semester 1 ke dalam tema Family Life (Marriage), kelas 2 semester 1 ke dalam tema Culture and Art, dan mengaitkannya dengan nilai-nilai imtaq.




2. Guru perlu mencari metode yang tepat dalam proses pengaitan tema dengan nilai-nilai imtaq. Apabila metodenya seperti yang penulis lakukan, guru perlu memandu para siswa dalam menuliskan, menyajikan dan mendiskusikan tema tersebut supaya proses pembelajaran dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.




3. Para orang tua sangat perlu untuk meningkatkan pengawasan terhadap putra-putri mereka khususnya apabila mereka mengakses internet. Patut dihindari pula sikap permisif yang serba membolehkan keinginan anak misalnya dalam penyediaan handphone. Fungsinya sebagai alat untuk mempermudah komunikasi, apabila sejak awal tidak diberikan pengertian tersebut kepada mereka, salah-salah malah digunakan untuk saling berkirim SMS dan gambar porno, apalagi jika kita melihat perkembangan teknologi terakhir pembuatannya yang sudah dapat dipakai untuk mengirimkan gambar. Orang tua juga seyogyanya terbuka untuk membicarakan masalah seks dengan anaknya sejak dini. Jangan malah anak-anak mendapatkan informasi seks dari teman-temannya yang sama-sama tidak mengerti tentang hal tersebut.




4. Sekolah sudah saatnya untuk membuka warung internet sendiri sehingga dapat membimbing para siswa untuk mengakses situs-situs yang positif.




5. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memberantas tuntas peredaran VCD porno.6. Pemerintah khususnya Depdiknas perlu mengkaji ulang muatan kurikulum supaya lebih berorientasi kepada kondisi perkembangan psikologis siswa dan perlu memasukkan pendidikan seks sebagai bagian dari kurikulum.



Demikianlah hasil proses pembelajaran bahasa Inggris tema Culture and Art yang penulis perluas dengan sub-tema seks bebas melalui metode penulisan dan pendiskusian makalah dengan mengaitkannya dengan nilai-nilai imtaq. Semoga bermanfaat.