Jumat, 29 Mei 2009

KELAHIRAN PERADABAN CAHAYA :

KISAH LALU YANG MENYEJARAH



Friday, 06 March 2009


Oleh : Nofiandri,SKM (Dosen Poltekkes Ternate) Kisah ini berawal dari hegemoni orang-orang yang merasa terhormat, yang merasa tinggi derajatnya apalagi dengan status sosialnya sebagai "pemuka" kan terakreditasi apabila mereka dikaruniai anak laki-laki. Sebab itulah kejayaan. Suatu manifesto atas keberuntungan. Simbol keperkasaan, kejantanan, kebanggaan dan kekuatan. Maka anak laki-laki adalah harapan. Adalah jaminan kesejahteraan masa depan. Prestise tersendiri yang mengakar kuat, tertancap dalam pada fase kehidupan Jahili. Sedangkan anak perempuan adalah aib bagi keluarga. Kehinaan bagi sukunya. Simbolis kelemahan dan ketakberdayaan. Memiliki anak perempuan bagi orang-orang itu sama halnya menceburkan baju putih bersih ke dalam lumpur hitam yang kotor. Inilah suatu malapetaka! Maka untuk menghindari musibah ini, mereka berlomba "mentiadakan" anak perempuan ini dengan menguburnya hidup-hidup. Ini demi merapikan aib keluarga agar tidak lusuh, tidak lecek apalagi tersingkap! Lalu, deraian pilu sang ibunda di balik bilik hanyalah desauan angin belaka. Ratapan penyesalan pada nasib dan takdir. Gugatan-gugatan tak berdaya, hanya air matalah ungkapan nyatanya walau tak berupa kata. Bahwa Ia tertindas. Ia tersiksa. Ia teraniaya oleh gilasan peradaban yang tak beradab. Kemudian, apa yang dapat mereka lakukan? Tak ada apa-apa! Mereka tak berdaya, manusia yang diyakini sebagai jelmaan lain dari iblis. Manusia kotor, hina dan nista. Mereka hanya dihargai sebagai pelampiasan nafsu syahwati belaka. Maka mereka tak lebih berharga dari kuda perang dan pedang.


Maka mereka pun berada pada "second lag" pada stratafikasi keluarga, suku, bahkan pada kabilah sekalipun. Kemudian peperangan antara suku, kabilah dan golongan merupakan “trend.setter”. Khammer atau minuman keras adalah konsumsi sehari-hari. Berhura-hura, berpesta pora telah mendarah daging dalam kehidupannya. Tak ada cahaya waktu itu. Semuanya gelap gulita, kebodohan merajalela kian melaju. Kehitaman dalam kepekatannya menandai kejahiliaan waktu itu. Keburaman mendandani setiap lekuk kehidupan kala itu.


Maka, mereka terus saja berkubang nista. Mengais kefakiran terhadap ilmu dalam galian-galian kebodohan. Guratan-guratan kesakitan melebam kian menjadi. "Warisan nenek moyang" adalah tameng sakti untuk legalisasi merampok, membunuh bahkan memperkosa. Inilah suatu lukisan abad jahili itu. Arsirannya merupakan kebiadaban. Warnanya adalah kebodohan. Dan semuanya itu berjalan, menggarisi seriap tingkah polah, menandai kisah, cerita-cerita kegelapan. Saat-saat itu pun ada. Saat yang jelas pernah diramalkan para ahli Nujum, Rahib & Pendeta terkabari melalui kitab-kitab mereka. Para Paganis pun demikian. Semuanya berharap masa itu akan berakhir. Menyelamatkan mereka, membimbing keluar dari kegelapan dengan fajar-Nya. Maka bumi pun berusaha bahagia akan datangnya manusia mulia. Langit bersuka ceria karena dapat memayungi manusia suci, manusia agung, kekasih para solihin.


Sampailah masa bening dalam kejernihan hidayah. Merekah dalam penantian cahaya. Nabi Muhammad SAW. pun lahir! Muhammad dengan agama fitrahnya, agama tauhidnya datang sebagai cahaya. Pelita bagi kegelapan. Kepuasan saat dahaga menganga. Agama yang memuliakan manusia tanpa pembeda secara hakiki. Agama yang melahirkan pahlawan-pahlawan yang menyejarah sepanjang masa, menjadi pahlawan sepanjang hayat. Agama paripurna! Agama yang Rahmatan Lilalamin.


Dan perayaan atas kelahiran Beliau pun marak. Maka maraknya hanyalah sekadar eforia masa lalu, kesyukuran sementara, yang tidak dapat memberikan guratan makna mendalam, kesan nyata dalam segala aspek, dan hanya membekas saat itu lalu hilang bersama berakhirnya perayaan. Terkadang, keagungan yang menyejarah ini terlalu sering membuat kita terenggah, terlena, hanyut terbawa kisah kesuksesan masa lalu. Terlalu suka dan doyan bernostalgia tanpa refleksi! Maka kita hanya bisa meratapinya dengan membiarkannya melayang ke angkasa, terbawa angin. Ataukah memang mungkin kita belum maksimal berusaha untuk mampu menjadi bagian dari "pengulangan-pengulangan" sejarah saat ini. Maka sudah sampai dimanakah bekas-bekas perayaan itu melekat pada langkah ‘menyejarah’ kita yang membahana? Ataukah ini hanya sekadar jejak lahkah tanpa makna? Sekiranya dengan perayaan tersebut, apakah benar dapat menciptakan “pengulangan-pengulangan” kejayaan lalu yang derap langkahnya menggetarkan setiap musuh?


Sosok yang selalu kita peringati kelahirannya, adalah sosok yang menciptakan peradaban cahaya. Sosok yang memiliki misi ketauhidan. Sosok Pencinta sejati. Sosok paripurna. Maka, sekiranya sungguh sangatlah bijak meneladani sosok mulia ini, bila perayaannya tidaklah hanya sebatas perayaan belaka, pun bukan hanya sekadar prestise. Bukan pula hanya sebatas aksara tak bermakna. Apalagi hanya sebatas slogan kosong yang kering makna! Salam… Wallahu a’lam bissawab

Tidak ada komentar: